Moji Tiok telah menghabiskan lebih dari satu dekade melaut di Teluk Tomini, tempat ia menghabiskan berjam-jam berburu dengan peralatan pancing tradisional di antara populasi gurita yang semakin berkurang di selatan provinsi Gorontalo, Indonesia.

“Saya sudah menjadi nelayan gurita sejak tahun 2013, dan saat itu sangat sulit bagi kami untuk menemukan gurita besar,” kata Moji Tiok, anggota suku laut Bajo, kepada Mongabay Indonesia. “Pendapatan kami hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.”

Leluhur Moji Tiok telah berburu gurita jauh lebih lama dari satu dekade. Kelompok nomaden laut terbesar di dunia ini telah berlayar selama berabad-abad di wilayah Asia Tenggara ini.

Bajo adalah pelaut keliling yang berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Penjelajah Venesia Antonio Pigafetta mendokumentasikan kelompok pelaut ini pada awal abad ke-16. Lima abad kemudian, sutradara Hollywood James Cameron mengambil inspirasi dari mereka untuk filmnya Avatar: The Way of Water.

Di antara peristiwa-peristiwa tersebut, pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda di Indonesia mengumpulkan pelaut Bajo ke dalam sebuah desa baru yang disebut Toro Siajeku. Komunitas tersebut kini dikenal sebagai Torosiaje, tempat tinggal Moji Tiok dan lebih dari 250 nelayan gurita Bajo lainnya.

Di Torosiaje modern, masyarakat Bajo beralih dari tinggal di perahu ke rumah panggung pada tahun 1930-an, tetapi mereka menolak upaya pemerintah untuk mengubah mereka menjadi petani pada tahun 1980-an. Sebaliknya, keluarga-keluarga Torosiaje kembali ke tepi laut, tempat identitas mereka tetap terjaga hingga hari ini.

Menghindari Krisis

Sebagian besar masyarakat Bajo bertahan hidup dari perikanan di distrik Pohuwato, dengan hanya sebagian kecil yang bekerja di layanan publik atau pertanian subsisten.

Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat produksi gurita di Indonesia mencapai 55.913 metrik ton pada tahun 2020, dengan nilai sekitar 1,2 triliun rupiah ($83 juta pada saat itu).

Penelitian yang diterbitkan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa perikanan menyumbang hampir seluruh ekonomi Bajo. Di desa Torosiaje, 86,6% dari populasi (sekitar 296 orang) bekerja sebagai nelayan.

Perikanan menyumbang 71,7% dari pasar tenaga kerja di tiga desa Bajo yang disurvei oleh tim penelitian, menunjukkan bahwa kecukupan gizi dan kemampuan membayar kesehatan dan pendidikan terkait erat dengan nasib perikanan komunitas.

Penelitian tentang bagaimana gurita dan cephalopoda lainnya merespons perubahan iklim masih terbagi. Beberapa studi menyimpulkan bahwa kebugaran alami mereka mungkin memberi mereka keunggulan kompetitif saat spesies laut yang lebih rentan menderita di laut yang lebih hangat dan lebih asam.

Seperti banyak nelayan di sini, Abdul Khalik Mappa mengatakan dia khawatir cuaca semakin tidak menentu seiring perubahan iklim, dan bahwa kawasan perikanan yang habis menimbulkan risiko akut bagi komunitas nomaden lautnya. Abdul, yang mengetuai asosiasi nelayan lokal, mengatakan dia tidak bisa mencari nafkah setiap kali badai mengitari bagian Sulawesi ini.

Sebagai tanggapan terhadap perubahan ini, komunitas Bajo memilih untuk menutup perikanan selama enam bulan, dari 4 November 2023 hingga 7 Mei 2024.

Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), sebuah LSM yang berbasis di Gorontalo, telah membantu masyarakat Bajo dalam menyusun kebijakan keberlanjutan sejak tahun 2021. Jalipati Tuheteru, manajer lapangan Japesda di Torosiaje, mengatakan bahwa organisasi ini membutuhkan sekitar satu tahun untuk memenangkan hati dan pikiran di komunitas tersebut.

Periode istirahat yang diperpanjang memungkinkan perikanan untuk regenerasi. Selain itu, aturan baru melindungi stok dengan mengatur ukuran gurita yang dapat ditangkap. Pembatasan ini berlaku untuk dua perikanan: Pulau Torosiaje Besar dan Pulau Torosiaje Kecil.

Sebelumnya, hampir 300 nelayan di desa Torosiaje akan menangkap bahkan gurita yang paling muda, yang dalam jangka waktu lama dapat mengancam populasi yang lebih luas.