Ringkasan Film Tragedi Kelam G30S PKI berdurasi sekitar 4 jam

Jakarta, VIVA – Peristiwa Gerakan 30 September atau yang dikenal dengan G30S merupakan momen bersejarah yang diperingati setiap akhir bulan September. Acara tersebut diperingati untuk mengenang peristiwa berdarah pahlawan revolusi dengan terbunuhnya sejumlah jenderal Angkatan Darat ABRI yang dimakamkan di sumur sempit yang dikenal dengan nama Lubang Buaya.

Baca juga:

13 Kolonel TNI AD resmi naik pangkat menjadi Brigjen bintang satu, berikut daftarnya

Tragedi kelam ini kemudian diangkat menjadi film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C. Noer dan Nugroho Notosusanto. Pada masa pemerintahan Soeharto, film ini menjadi tontonan wajib masyarakat Indonesia di TVRI dan saluran televisi swasta.

Namun pada era Presiden B.J Habibie, pemutaran film G30S PKI dihentikan oleh dua menteri karena menimbulkan kontroversi. Pasalnya, produksi film Penghianathan G30S/PKI telah menyimpang dari fakta sejarah atau tidak mencerminkan kenyataan secara akurat.

Baca juga:

Jakarta World Cinema 2024 resmi ditutup dan sukses menyedot hingga 14 ribu pengunjung

Film ini bercerita tentang tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965, dimana sejumlah jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca juga:

Berdurasi lebih dari 4 jam, berikut 5 fakta film G30S PKI

Beberapa pihak menganggap film ini sebagai alat propaganda politik yang tujuannya untuk memperkuat pernyataan pemerintah “Orde Baru” tentang keikutsertaan PKI dalam kudeta tahun 1965.

Ringkasan Film G30S PKI

Film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ diawali dengan kisah yang menampilkan serangkaian aksi kekerasan yang dilakukan PKI dan pengikutnya di berbagai wilayah Indonesia.

Mereka menyerang dan menghina warga pelajar Indonesia, santri pesantren, serta petani Sudarno yang diserang dengan dalih sengketa tanah, dan menyerang kepala desa yang mencoba turun tangan.

Film tersebut juga menceritakan aksi-aksi anarkis yang dilakukan PKI misalnya di Indramayu, Boyolali, dan Klaten yang berujung pada tewasnya Lettu Sudjono.

Pada bulan Desember 1964, ada rencana perebutan kekuasaan oleh PKI. Namun PKI menolaknya. Kemudian, PKI membentuk biro khusus yang tugasnya memasukkan ABRI.

Kemudian Ketua PKI D.N. Aydit menginstruksikan biro khusus ini untuk menyusun rencana Gerakan 30 September 1965.

Selain itu, atas saran Perdana Menteri Rakyat Tiongkok Chou En-Lai, PKI mendorong pembentukan kekuatan kelima, yaitu mempersenjatai buruh dan tani. Namun Letjen Ahmad Yani menolak tawaran tersebut.

Ahmad Yani menilai rencana PKI menimbulkan kesulitan pada garis komando dan kendali angkatan bersenjata di Indonesia. PKI juga menganggap para jenderal ini sebagai penghalang besar dalam perjalanan mereka meraih kekuasaan di Indonesia.

Pada bulan Agustus 1965, ketika presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, ditempatkan di Istana Bogor, kesehatannya memburuk. Dokter Tiongkok mengatakan kesehatan Sukarno sangat buruk. Bisa jadi kondisi Sukarno semakin memburuk dan sewaktu-waktu ia meninggal.

Sementara di Lubang Buaya, Jakarta Timur, anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani merupakan bagian dari PKI yang saat itu disebut siap merebut kekuasaan.

Kemudian, di rumah D.N. Aidit, Syam Kamaruzaman menyusun rencana pemberontakan dan berniat mengambil alih pemerintahan. Mereka menyebarkan berita tentang pengkhianatan para jenderal angkatan darat. Sebab saat itu musuh terbesar PKI adalah para pimpinan Angkatan Darat. PKI juga membungkam pers.

PKI yakin jika Presiden Sukarno turun tahta maka tentara akan berada di tangannya. Sehingga PKI bisa segera dibubarkan.

PKI akan mengadakan pertemuan kecil

Pertemuan kecil PKI berlanjut di rumah Syam Kamaruzaman, dimana para petinggi PKI diinstruksikan untuk melancarkan kudeta militer dengan merebut fasilitas pemerintah seperti Telkom, Radio Republik Indonesia (RRI), kereta api, dll.

PKI juga berencana menculik dewan jenderal melawan PKI. PKI berani melakukan kudeta militer karena telah mempersiapkan pasukannya sendiri dan berhasil merekrut banyak anggota TNI dan perwira yang pro-PKI, salah satunya Letkol Untung Syamsuri dengan pasukan Kakrabirawa yang dikomandoinya. untuk menunjukkan

PKI mengadakan rapat besar

Pada tanggal 28 Agustus 1965, diadakan rapat besar mengenai rencana kudeta militer dengan Dewan Jenderal yang menimbulkan pertanyaan di kalangan kubu PKI tentang kebenaran isu TNI membubarkan PKI dan merebut kekuasaan. D.N. Aidit kemudian meyakinkan bahwa informasi tersebut benar dan jika PKI berhasil menguasai Jawa, mereka juga akan menguasai pemerintahan karena kendala terbesarnya adalah TNI AD.

Letkol Untung Syamsuri dipilih menjadi pemimpin operasi militer tersebut, karena dinilai bebas dari kecurigaan. Apalagi Letkol Untung merupakan asisten pribadi Presiden Soekarno dan panglima tentara Kakrabirawa yang dianggap tepat dan berguna oleh PKI.

Di markas Sjam Kamaruzaman, PKi kemudian memutuskan untuk menculik tujuh jenderal, tujuh jenderal TNI yang diculik adalah:

  1. Jenderal Ahmad Yani (Panglima Angkatan Darat)
  2. Letjen Soeprapto (Kepala Staf Angkatan Darat)
  3. Letjen M. T. Haryono (Kepala Staf Umum Angkatan Darat)
  4. Parman (Kepala Badan Intelijen Pusat Angkatan Darat) Letjen S.
  5. Mayjen D. I. Panjaitan (Asisten Pertama Kepala Staf Angkatan Darat)
  6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo (Panglima Sumber Daya Strategis Angkatan Darat)
  7. Kapten Pierre Tendean (ajudan jenderal besar Abdul Haris Nasution).

Sehari sebelum tragedi itu, atau 29 September 1965, para perwira yang berkumpul untuk menculik para jenderal di Lubang Buaya diinstruksikan untuk menerima instruksi taktis agar para jenderal dibawa ke Lubang Buaya dalam keadaan hidup atau mati.

Penyergapan dimulai

Tepat tanggal 30 September 1965, pasukan Chakrabirawa yang ditunjuk untuk menculik para jenderal mulai bergerak dari Lubang Buaya. Mereka tiba di rumah jenderal sekitar pukul 3-4 pagi.

Penyergapan diawali dengan kunjungan ke rumah Jenderal Nasution. Saat itu, Jenderal Nasution berhasil menyelamatkan diri. Namun, putra bungsu Jenderal Nasuyun tertembak.

Kemudian Jenderal Nasution berlari menuju halaman rumah duta besar Irak yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Sedangkan ajudan Jenderal Nasution, Kapten Pierre Tendean ditangkap karena berusaha melindungi Jenderal Nasution. Kemudian Pierre Tendean dibawa ke Lubang Buaya.

Belakangan, saat penyergapan di rumah Jenderal Ahmad Yani, para prajurit datang diam-diam dan berkesempatan berbicara dengan pengawal Jenderal Yani. Mereka mengaku ada pesan penting dari Presiden.

Jenderal Ahmad Yani pun meminta izin mandi dan berpakaian untuk urusan bisnis. Namun permintaannya ditolak sehingga membuat Yani marah. Dia ditembak dan dipindahkan ke Lubang Buaya.

Belakangan, terjadi penghadangan di rumah Mayjen MT Haryono. Tadi dia punya firasat buruk, jadi dia menyuruh keluarganya pergi ke halaman.

Namun tempat persembunyian MT Haryono baru diketahui hingga ia ditembak dan dibunuh. Jenazahnya kemudian dimasukkan ke dalam truk untuk dibawa ke Lubang Buaya.

Kemudian Mayjen Soeprapto disergap. Saat itu, dia hanya mengenakan sarung, sandal, dan kaos. Saat kejadian, Soeprapto sedang tidur karena sakit gigi.

Mereka mengaku Presiden ingin segera bertemu Soeprapto. Tak diperkenankan berganti pakaian dinas, Soeprapto langsung dibawa ke truk.

Selain itu, saat terjadi penyergapan di rumah Letjen S.

Kemudian Letjen S. Parman meminta istrinya menghubungi Letjen Ahmad Yani. Namun usahanya tidak berhasil karena telepon tersebut disita oleh tentara. Kemudian S. Parman dibawa ke truk.

Lalu, terjadi penyergapan di rumah Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Mereka memaksanya membuka pintu kamarnya dengan dalih menerima surat dari presiden. Dia ditangkap di selnya, diborgol dan dibawa ke Lubang Buaya dengan truk.

Penyerangan rumah Mayjen DI Panjaitan, awalnya DI Panjaitan menolak turun dan ingin menghubungi polisi. Namun usahanya gagal karena sambungan telepon terputus. Saat mereka memaksanya turun, Panchaitan yang telah berganti pakaian melepaskan tembakan.

Jenazahnya kemudian dibawa ke Lubang Buaya dimana polisi yang sedang patroli malam menculik Sukitman dan membawanya ke Lubang Buaya karena mengetahui kejadian tersebut.

Setelah semua jenderal dimutasi, PKI menyiksa mereka di Lubang Buaya agar mereka mengaku sebagai anggota Dewan Jenderal. Namun mereka tetap bungkam hingga akhirnya dibunuh. Jenazah mereka kemudian dibuang ke sumur Lubang Buaya yang terkenal itu.

Belakangan, kabar penculikan tujuh jenderal tersebar, namun saluran radio RRI saat itu berada di bawah kendali PKI. Mereka menyebarkan isu bahwa PKI menyelamatkan Presiden Sukarno dari Dewan Jenderal.

Soeharto berhasil mengalahkan pemberontakan tersebut

Para prajurit tidak tinggal diam, Mayjen Soeharto segera mengambil alih komando dan mengadakan rapat staf untuk mengakhiri pemberontakan.

Kolonel Sarvo Edhi memerintahkan RRI dan Telkom mundur dari PKI. Operasi penyitaan pun dimulai dan Soeharto memastikan berita kudeta PKI disiarkan ulang oleh RRI.

Berkat informasi Polsek Sukitman, ditemukan sumur mematikan di Lubang-Buaya dan proses pemindahan jenazah para jenderal pun selesai.

Soeharto juga mengumumkan penemuan korban kejahatan G30S dan PKI di lubang buaya.

Ketujuh jenderal tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi, dan didirikan monumen G30S PKI sebagai pengingat sejarah kelam PKI.

Halaman berikutnya

Film tersebut juga menceritakan aksi-aksi anarkis yang dilakukan PKI misalnya di Indramayu, Boyolali, dan Klaten yang berujung pada tewasnya Lettu Sudjono.

Jay Idze Pemula! Di bawah ini adalah susunan pemain untuk pertandingan “Roma” – “Venice”.



Sumber