Generasi Z menolak menjadi bos: tren “tanpa bos secara sadar” dan alasan di baliknya

VIVA – Fenomena yang sedang berkembang di dunia kerja adalah kecenderungan generasi Z yang enggan menduduki posisi kepemimpinan. Istilah yang diciptakan untuk menggambarkan tren ini adalah “Pengabaian secara sadar‘. Tren ini menunjukkan generasi muda enggan menjadi pemimpin atau manajer. Lebih dari sekedar keputusan sederhana, penolakan ini sering kali disebabkan oleh alasan yang sangat kuat dan komprehensif, mulai dari faktor keseimbangan hidup hingga tuntutan profesional pribadi.

Baca juga:

Kita Ada Festival Dekade Sukses, Sandiaga Uno: Luar Biasa!

Dalam artikel ini, kami mengeksplorasi alasan di balik fenomena ini, dampaknya terhadap dunia kerja, dan bagaimana perusahaan dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.

apa iniPerilaku Sadar’?

Baca juga:

Nilai-Nilai Aktivis Perempuan PMII di Tempat Kerja: Perempuan Masih Rentan Terhadap Penipuan dan Stigma

“Beban Sadar” merupakan istilah yang menggambarkan sikap sadar generasi muda, khususnya generasi Z, dalam menolak peran manajemen menengah dan atas. Hubungan ini muncul bukan tanpa alasan. Generasi Z tumbuh di era digital di mana fleksibilitas, kemandirian, dan keseimbangan hidup menjadi prioritas utama. Bagi mereka, jabatan manajer tidak selalu berarti sukses, namun bisa berarti tekanan berlebihan, tanggung jawab yang tidak diimbangi dengan imbalan, dan peluang kehilangan peluang untuk berkembang di luar batas korporasi.

Mengapa Generasi Z menolak menjadi pemimpin?

Baca juga:

Dirilis 21 tahun lalu, Marcel Ciahan takjub karena penonton We The Fest masih mengingat lagu tersebut

Ada beberapa alasan mengapa Generasi Z menolak posisinya sebagai manajer atau pemimpin dalam karirnya. Berikut adalah beberapa faktor utama yang mendorong tren ini:

Terlalu banyak stres dan imbalan yang tidak proporsional

Banyak Generasi Z yang percaya bahwa menjadi seorang manajer berarti menghadapi tanggung jawab yang besar dan tekanan yang sangat tinggi. Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh perusahaan rekrutmen Robert Walters yang berbasis di Inggris, yang menemukan bahwa 69% Generasi Z menganggap pekerjaan manajemen menengah dengan imbalan rendah terlalu membuat stres.

Di sisi lain, 75% manajer menengah yang disurvei merasa terbebani secara berlebihan, stres, dan bahkan lelah. Kesenjangan antara tanggung jawab dan imbalan finansial inilah yang membuat Generasi Z ragu untuk mengambil posisi kepemimpinan.

Fokus pada pengembangan pribadi dan pengembangan keterampilan

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang sangat menjunjung tinggi pengembangan diri. Mereka lebih tertarik pada jalur karier yang memungkinkan mereka mengembangkan keterampilan baru, mempelajari hal-hal baru, dan mendapatkan pengalaman berbeda dibandingkan peran kepemimpinan yang mungkin membatasi ruang gerak mereka.

Banyak orang lebih memilih untuk fokus pada “jalur individu” dalam kemajuan karir mereka, yang memungkinkan mereka untuk tetap fleksibel dan memprioritaskan pengembangan pribadi. Hal ini juga mencerminkan perubahan dalam cara kita memandang kesuksesan. Jika generasi sebelumnya memandang posisi kepemimpinan sebagai simbol kesuksesan, maka Generasi Z melihatnya sebagai potensi penghambat kebebasan.

Keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik

Keseimbangan dan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan merupakan salah satu prioritas utama Generasi Z. Bekerja secara hybrid atau jarak jauh, terutama setelah pandemi Covid-19, membuat mereka lebih menghargai waktu dan fleksibilitas yang mereka miliki. Posisi kepemimpinan yang memerlukan kehadiran fisik dan keterlibatan penuh seringkali bertentangan dengan gaya hidup mereka.

Sekitar 72% profesional muda yang disurvei oleh Robert Walters lebih memilih untuk memajukan karir mereka melalui jalur yang fleksibel daripada jenjang karir tradisional yang sering membawa mereka ke posisi kepemimpinan.

pengaruh’Pengabaian secara sadar“Tentang struktur organisasi

fenomena tersebutPengabaian secara sadarTentu saja hal ini berdampak besar pada struktur organisasi tradisional. Jika Generasi Z, tenaga kerja masa depan, semakin terpuruk dalam posisi kepemimpinan, maka perusahaan harus mulai beradaptasi. Beberapa dampak yang dapat terjadi adalah:

Perubahan model karir

Perusahaan perlu memikirkan kembali model karier tradisional yang menekankan promosi ke posisi kepemimpinan sebagai ukuran keberhasilan. Sebaliknya, jalur karier yang lebih fleksibel dan personal harus dipertimbangkan. Struktur organisasi yang lebih datar dan otonom, dimana karyawan dapat terus berkembang tanpa menjadi manajer, mungkin menjadi tren masa depan.

Perbedaan kepemimpinan

Keengganan Generasi Z terhadap posisi kepemimpinan dapat menyebabkan kurangnya kepemimpinan di masa depan. Perusahaan perlu menemukan cara untuk mengisi kesenjangan ini, baik dengan menawarkan lebih banyak insentif untuk peran kepemimpinan atau menciptakan peran baru yang sesuai dengan harapan Generasi Z.

Loyalitas karyawan menurun

Menurut Robert Walters, Generasi Z juga dikenal kurang loyal terhadap perusahaan tempat mereka bekerja, terutama karena mereka sering memasuki dunia kerja melalui pengaturan jarak jauh atau hybrid. Minimnya koneksi fisik dan sosial di kantor membuat generasi ini lebih mudah berganti pekerjaan. Hal ini dapat mempersulit perusahaan untuk mempertahankan talenta terbaiknya.

Bagaimana perusahaan dapat beradaptasi dengan tren ini?

Perubahan sikap Generasi Z terhadap manajemen menengah mengharuskan perusahaan beradaptasi jika ingin tetap relevan dan menarik bagi angkatan kerja muda. Beberapa langkah yang dapat dilakukan perusahaan adalah:

Sarankan jalur karir alternatif

Daripada memaksa karyawan untuk menduduki posisi kepemimpinan, perusahaan dapat menawarkan jalur karier alternatif yang memungkinkan karyawan untuk terus berkembang tanpa menjadi manajer. Misalnya program spesialisasi pada bidang tertentu atau program pengembangan keterampilan yang dapat memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan kompetensinya.

Meningkatkan fleksibilitas peran manajerial

Salah satu cara untuk menarik Generasi Z ke peran kepemimpinan adalah dengan menawarkan lebih banyak fleksibilitas. Perusahaan dapat mempertimbangkan untuk mengurangi redundansi, memberikan lebih banyak dukungan, dan menawarkan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik kepada manajer.

Menciptakan budaya kerja yang inklusif

Generasi Z cenderung menghindari struktur hierarki yang kaku. Oleh karena itu, perusahaan perlu menciptakan budaya yang lebih inklusif dan kolaboratif sehingga karyawan merasa dihargai dan didengarkan di berbagai tingkatan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi sikap “kita versus mereka” yang sering terjadi dalam lingkungan pengelolaan tradisional.

keretaPerilaku Sadar’ di kalangan generasi Z menunjukkan perubahan yang signifikan dalam dunia kerja. Generasi Z tidak lagi memandang posisi kepemimpinan sebagai tujuan karir utama mereka. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada pengembangan pribadi, keseimbangan kehidupan kerja, dan fleksibilitas. Bagi perusahaan, hal ini merupakan tantangan besar yang harus dihadapi saat mereka beradaptasi dengan jalur karier yang lebih fleksibel dan inklusif. Jika perusahaan beradaptasi dengan baik, mereka dapat menarik dan mempertahankan Generasi Z sebagai tenaga kerja potensial di masa depan.

Agnes Mo Tolak Masuk Circle P Diddy Stalls di Hollywood?

Komentar Agnes Moe saat podcast bersama Daniel Mananta memicu spekulasi bahwa ia ada kaitannya dengan kasus P Diddy hingga kariernya tidak bisa maju.

img_title

VIVA.co.id

30 September 2024



Sumber