Kementerian Kesehatan mempertanyakan kebijakan kemasan rokok biasa tanpa label

Jakarta, VIVA- Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tentang kesehatan dan saat ini sedang mengembangkan proyek regulasi yang dihasilkan, termasuk Proyek Menteri Kesehatan (RPMK) yang menyebabkan gelombang PHK dan erosi. dari pendapatan negara.

Baca juga:

Sedangkan untuk kemasan polos tanpa branding, menurut pelaku industri rokok elektrik menimbulkan efek domino negatif

Hal ini disebabkan minimnya keterlibatan pemangku kepentingan yang terkait langsung dengan peraturan tersebut, seperti industri tembakau dan ekosistem di dalamnya. Tidak hanya itu, pernyataan Kementerian Kesehatan dan organisasi layanan kesehatan masyarakat seringkali tidak sejalan.

Kedua peraturan yang digagas Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin itu mengatur tentang kemasan rokok polos tanpa label, zonasi larangan penjualan rokok, dan larangan iklan di media luar ruang. Dalam RPMK yang diunggah di situs resmi Kementerian Kesehatan, pada bagian pencantuman keterangan pada kemasan, ayat 15 (3) disebutkan bahwa “Merek produk yang diberi peringatan kesehatan dicantumkan pada bagian samping atau belakang kemasan. kemasan menggunakan huruf kapital Arial Bold’.

Baca juga:

Asosiasi Petani Tembakau menyerukan peninjauan kembali aturan pengemasan polos

Sedangkan pada ayat 1 pasal 5 ayat g menyatakan “dilarang menambahkan gambar dan/atau tulisan pada kemasan hasil tembakau dalam bentuk apapun selain bentuk yang ditentukan dalam Peraturan Menteri ini”.

Namun dalam beberapa keterangan, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Kota Nadia Tarmizi mengatakan penggunaan logo pada kemasan rokok tetap diperbolehkan, termasuk wajib mencantumkan kesehatan. peringatan dan informasi. Dalam kasus lain, Nadia menyatakan branding tidak diperbolehkan.

Baca juga:

4 Perusahaan Grafis dukung kemasan UMKM Indonesia untuk pasar global, begini caranya

Nama dan logo produk tetap boleh digunakan. Tapi ada peringatan, informasi, gambar dampak merokok. Branding tidak boleh. Kami melakukan standarisasi warna, termasuk pada rokok elektrik, kata Nadia dalam diskusi media baru-baru ini.

Pernyataan Kementerian Kesehatan negara tersebut bertentangan dengan ketentuan rancangan kebijakan. Hal ini juga menunjukkan fakta ketidaktahuan tentang rancangan dokumen peraturan yang telah disiapkan oleh Kementerian Kesehatan negara tersebut.

Perbedaan pernyataan City dengan proyek RPMK juga terlihat pada penetapan nama mereknya. Ayat (1) Pasal 5 ayat e menjelaskan bahwa “dalam penulisan merek dan varian produk tembakau digunakan bahasa Indonesia”, sedangkan ayat f menyatakan bahwa “Dalam penulisan identitas produsen digunakan huruf Arial Indonesia. ” “.

Dalam sidang tersebut, Pemprov DKI sebenarnya menyebut belum ada standarisasi nama dan ejaan merek rokok. “Kami tidak melakukan standarisasi nama merek tembakau. Indonesia hanya untuk informasi saja. “Nama mereknya sesuai dengan mereknya,” katanya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Harian Tulus Abadi menyatakan perlunya kejelasan aturan kemasan rokok polos tanpa label.

“Perlu diklarifikasi bahwa yang disebut rokok biasa bukanlah rokok biasa seperti rokok luar negeri yang diterapkan beberapa negara, termasuk Australia dan Selandia Baru,” ujarnya.

Tulus mengatakan, dalam konteks aturan PP 28/2024, bungkus rokok bukanlah bungkus rokok biasa tanpa label, melainkan bungkus rokok standar. Ia juga mengatakan, paket polos di negara lain berwarna putih. Hal ini berbeda dengan kenyataan di lapangan.

“Dengan adanya standarisasi, maka akan tetap ada peningkatan peringatan kesehatan yaitu sebesar 50 persen, dan warnanya akan terstandarisasi. Artinya tetap ada standarisasi kemasannya dan berbeda dengan rokok biasa. Di Selandia Baru dan mungkin juga di beberapa negara lain, “Memang benar warnanya putih, tidak ada gambarnya, dan peringatan kesehatan juga tidak ada,” ujarnya.

Penolakan terhadap rancangan peraturan ini dilontarkan berbagai pihak, mulai dari petani hingga akademisi. Ketua Dewan Pengurus Nasional Persatuan Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuchi menyatakan, ada beberapa pelanggaran dan/atau inkonsistensi dalam RPMK. Ketentuan RPMK tersebut antara lain berlaku untuk paket tunggal/paket biasa. Padahal, kata dia, ketentuan paket seragam/paket sederhana pada dasarnya tidak diatur dalam PP 28/2024.

“Beberapa negara yang menerapkan kemasan seragam/kemasan polos terbukti tidak menurunkan jumlah perokok aktif secara signifikan. Yang terjadi adalah peredaran rokok ilegal meningkat. kemiskinan baru,” tegas Agus Parmuji.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tembakau Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) Sudarto AS menyatakan ketidakpuasannya terhadap RPMK yang merupakan aturan turunan dari PP 28/2024. dianggap tidak memasukkan input tenaga kerja.

Sudarto menilai kontroversi PP 28/2024 dan RPMK menunjukkan kelalaian pemerintah dalam menilai dampak ekonomi dari peraturan tersebut terhadap pekerja dan industri. Ia khawatir jika kebijakan ini diterapkan, banyak pekerja yang menjadi korban PHK. Ia mencatat pentingnya mempertimbangkan dampak politik terhadap tenaga kerja dan sektor terkait.

Halaman berikutnya

Pernyataan Kementerian Kesehatan negara tersebut bertentangan dengan ketentuan rancangan kebijakan. Hal ini juga menunjukkan fakta ketidaktahuan tentang rancangan dokumen peraturan yang telah disiapkan oleh Kementerian Kesehatan negara tersebut.



Sumber