Mengapa sulit memberantas korupsi di Indonesia?

VIVA – Korupsi merupakan masalah tersembunyi yang terus melanda Indonesia. Selalu ada kasus demi kasus, mulai dari skandal pejabat hingga korupsi struktural yang merugikan masyarakat. Upaya pemberantasan telah dilakukan, namun praktik korupsi terus berulang dan menimbulkan tantangan serius bagi stabilitas dan pembangunan negara.

Baca juga:

Pengamat menilai penangkapan Tom Lembong mempunyai makna politik yang kuat

Keadaan ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan rendahnya semangat aparat penegak hukum. Sebagaimana disampaikan Profesor Anton F. Susanto dari Fakultas Hukum Universitas Pasunan, buruknya moral dan etika aparat penegak hukum menjadi kendala besar. Di sisi lain, sistem hukum yang diterapkan dinilai terlalu dipengaruhi oleh pemikiran Barat sehingga kurang sesuai dengan konteks Indonesia. Semua ini membuat pemberantasan korupsi sulit dilakukan dan semakin mengakar di masyarakat.

Untuk itu diperlukan langkah-langkah khusus yang memadukan pendekatan hukum yang berlandaskan moralitas, etika, dan kearifan lokal. Penguatan landasan moral, etika dan budaya dalam sistem hukum dapat menjadi jalan keluar untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

Baca juga:

Rayakan HUT Taman Ismail Marzuki ke-56 dengan Membawakan Seni Pertunjukan ke Jantung Kota Jakarta

1. Budaya korupsi yang mendalam

Budaya korupsi di Indonesia mempunyai akar yang sangat dalam, terutama di sektor pemerintahan dan birokrasi. Di berbagai lapisan masyarakat, praktik ini sering dianggap “lumrah” atau “wajar” untuk mempermudah segalanya. Sikap permisif seperti ini menjadi penghambat utama pemberantasan korupsi. Tanpa perubahan sikap dan nilai di masyarakat, upaya pemberantasan korupsi akan sulit mencapai hasil yang optimal.

Baca juga:

Indonesian Dance Festival (IDF) digelar dengan menghadirkan lebih dari 50 seniman dari Indonesia, Jepang, dan Amerika.

Menurut Anthony F. Suzanto, pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan sistem hukum yang berorientasi Barat. Sistem ini seringkali gagal mengatasi aspek budaya dan etika yang mempengaruhi perilaku individu. Dalam konteks Indonesia, upaya pemberantasan harus lebih menekankan nilai-nilai lokal yang menjaga integritas.

2. Lemahnya etika dan moral aparat penegak hukum

Salah satu penyebab utama sulitnya pemberantasan korupsi adalah rendahnya etika di kalangan aparat penegak hukum. Ketika aparat penegak hukum sendiri masih mudah terpengaruh oleh uang atau pengaruh politik, maka proses penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Rendahnya transparansi aparat penegak hukum menyebabkan masyarakat meragukan sistem hukum.

Anthony menegaskan, landasan moral yang kuat di kalangan aparat penegak hukum menjadi faktor kunci agar proses penegakan hukum dapat berjalan efektif. Korupsi dapat diberantas dengan lebih mudah jika pejabat yang sah memiliki integritas dan tidak mudah terombang-ambing oleh kepentingan pribadi.

3. Pengaruh sistem hukum Barat

Sistem hukum Indonesia yang didasarkan pada pemikiran Barat seringkali tidak sesuai dengan realitas sosial dan budaya setempat. Menurut Anton, sistem ini belum bisa sepenuhnya memuat nilai-nilai agama, moral, dan etika yang seharusnya menjadi landasan pemberantasan korupsi. Akibatnya, sistem ini sulit diterima masyarakat luas dan kurang efektif dalam pemberantasan korupsi.

Sistem hukum Indonesia harus disesuaikan dengan kosmologi agama dan budaya setempat agar lebih efektif. Pendekatan yang memadukan nilai-nilai moral, etika, dan intelektual mampu menciptakan sistem hukum yang lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia.

4. Kurangnya kearifan lokal dalam penegakan hukum

Penegakan hukum di Indonesia tidak hanya memerlukan peraturan yang tegas, namun juga kearifan lokal yang dapat mempengaruhi hati nurani masyarakat. Dikatakan Anton, aparat penegak hukum hendaknya menarik konsep “nyantri, nyunda, nyakola” yang mencerminkan kecerdasan spiritual, emosional, dan intelektual.

Dengan pendekatan berbasis kearifan lokal ini, masyarakat harus lebih menghormati hukum dan sadar untuk menghindari praktik korupsi. Upaya ini dapat menjadi langkah preventif yang kuat untuk memberantas korupsi hingga ke akar budayanya.

5. Sistem politik yang rentan terhadap manipulasi

Di Indonesia, politik seringkali dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri. Seringkali politisi yang seharusnya mengabdi pada rakyat justru menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Hal ini menciptakan siklus korupsi yang berkelanjutan karena praktik ini menjadi “standar tidak tertulis” di banyak lingkungan pemerintahan.

Dalam konteks ini, perlu dibedakan secara jelas antara kepentingan privat dan kepentingan publik. Tanpa pemisahan ini, politisi akan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.

6. Kepatuhan terhadap penegakan hukum

Ketimpangan dalam penegakan hukum mempersulit pemberantasan korupsi. Terkadang kasus korupsi yang besar bisa ditanggapi dengan serius, namun kasus yang kecil seringkali diabaikan atau diselesaikan dengan hukuman yang ringan. Hal ini menimbulkan kesan bahwa hukum dapat dibeli dan keadilan hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar.

Penerapan hukum yang konsisten dan adil tanpa diskriminasi merupakan salah satu cara untuk menciptakan rasa percaya masyarakat terhadap sistem hukum. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum ditegakkan dengan ketat, keyakinan mereka terhadap keadilan semakin meningkat.

7. Masalah globalisasi dan penyebaran kebohongan

Di era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, penipuan atau berita bohong juga menimbulkan permasalahan serius dalam pemberantasan korupsi. Misinformasi seringkali mengaburkan fakta dan menimbulkan kebingungan di masyarakat. Hal ini diperparah dengan keberadaan media sosial yang mana misinformasi bisa menyebar luas dalam waktu singkat.

Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi harus didukung dengan edukasi digital kepada masyarakat agar dapat memilah informasi yang benar dan tidak mudah terpapar berita bohong. Peringatan ini penting untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat merugikan upaya pemberantasan korupsi.

8. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan tindak pidana korupsi

Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan korupsi juga menjadi kendala dalam pemberantasan korupsi. Banyak masyarakat yang takut atau enggan melapor karena khawatir dengan dampaknya.

Untuk mengatasinya, pemerintah dan lembaga antikorupsi harus menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan anonim serta memastikan pelapor dilindungi undang-undang. Kesadaran masyarakat dalam melaporkan korupsi merupakan langkah penting menuju terciptanya lingkungan yang lebih transparan dan bebas korupsi.

Korupsi di Indonesia memang sulit diberantas, terutama karena berbagai faktor budaya, etika, sistem hukum dan tantangan era globalisasi. Meski persoalannya serius, namun ada beberapa solusi yang bisa dilakukan, seperti penguatan etika dan moral aparat penegak hukum, penerapan sistem hukum berbasis kearifan lokal, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaporan korupsi.

Dengan langkah-langkah tersebut, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dapat terus berlanjut untuk mewujudkan masyarakat yang lebih bersih dan adil. Kerjasama antara pemerintah, otoritas hukum dan masyarakat diperlukan untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang bebas korupsi.

Pemberantasan Korupsi: Implikasi dan Pembelajaran dari Kasus Tom Lembong

Kasus korupsi Tom Lembong menyoroti tantangan pemberantasan korupsi di Indonesia, dampaknya terhadap perekonomian, kepercayaan publik, dan pentingnya transparansi politik.

img_title

VIVA.co.id

5 November 2024



Sumber