Tentang Sritex, ekonom ini mengungkap permasalahan mendasar industri TPT

Selasa, 5 November 2024 – 12:55 WIB

Jakarta – Ekonom Universitas Indonesia (UI), Fitra Faisal Hastiadi memperkirakan industri TPT di Indonesia berada dalam kondisi depresi selama 10 tahun terakhir. Hal ini menyusul kabar bangkrutnya PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex.

Baca juga:

Ekonom UI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2024 sebesar 4,96 persen

Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Ketentuan Impor belakangan ini dituding sebagai penyebab bangkrutnya PT Sritex. Meski demikian, Kementerian Perdagangan menyatakan Permendag 8/2024 bukan menjadi penyebab kegagalan industri TPT di Indonesia, namun masih ada pihak terkait.

“Saya kira bukan karena Peraturan Menteri Perdagangan, tidak ada alasannya. Mungkin ada korelasinya, tapi bukan sebab akibat. “Iklim makroekonomi industri TPT mengalami tekanan selama 10 tahun terakhir,” kata Fitra dalam keterangannya, Selasa, 4 November 2024.

Baca juga:

Menteri Perdagangan Budi Batah Sriteks bangkrut akibat Peraturan Menteri Perdagangan 8/2024

Biaya produksi dan alasan hilangnya persaingan

Pameran industri tekstil.

Foto:

  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Baca juga:

Prabowo Ingin Selamatkan Sritex, Ketua MPR Ingatkan Pemiliknya Tetap Tanggung Jawab

Lanjutnya, berbagai faktor penyebab terpuruknya industri TPT adalah tingginya biaya produksi. Sementara itu, jaringan produksi yang dibangun dari negara tetangga, misalnya Vietnam, kurang bagus.

“Jaringan produksi global belum terintegrasi dengan baik sehingga industri kita kalah bersaing,” ujarnya.

Fitra mengatakan, meski di tengah pandemi Covid-19, PT Sritex sudah banyak menerima pesanan, namun karena terlilit utang, faktanya perusahaan sudah mengalami kendala keuangan.

“Pada tahun 2020, kami mengajukan perpanjangan pinjaman, artinya perusahaan ini akan menghadapi masalah keuangan. “Bank juga takut memberikan pinjaman, sehingga mengenakan bunga yang sangat tinggi,” ujarnya.

Fitra meminta pemerintah komprehensif dalam menyelesaikan masalah Sritex yang juga bisa berdampak pada perekonomian.

Sebaliknya, ia menilai keluarnya Permendag 8/2024 justru membawa banyak manfaat. Mengingat tujuan diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan ini adalah untuk meringankan barang-barang yang menumpuk pada awal tahun.

“Backlog barang impor semakin meningkat sehingga berdampak pada tingginya biaya logistik. Jadi menurut saya menteri regulasi perdagangan ini lebih punya kepentingan, misalnya muluskarena kalau barangnya diblokir, banyak juga yang merugikan UMKM kita,” ujarnya.

Halaman selanjutnya

Fitra mengatakan, meski di tengah pandemi Covid-19, PT Sritex sudah banyak menerima pesanan, namun karena terlilit utang, faktanya perusahaan sudah mengalami kendala keuangan.

Halaman selanjutnya



Sumber