Ekonom Indef mengatakan kebijakan rokok sederhana mengancam perekonomian Indonesia sebesar Rp 308 triliun

Kamis, 7 November 2024 – 22:21 WIB

Jakarta – Para ekonom dan pakar hukum mengkritik keras Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PK 28/2024) dan rencana kebijakan regulasi penyeragaman kemasan rokok polos dan tidak bermerek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Proyek Permenkes). Kebijakan ini berdampak besar terhadap perekonomian nasional dan menimbulkan kekhawatiran akan adanya kemungkinan campur tangan asing dalam penyusunan dokumen.

Baca juga:

Pelaku usaha dan pedagang harus mempertimbangkan kebijakan penetapan harga yang merugikan industri rokok

Kepala Pusat Perindustrian, Perdagangan dan Investasi Sh Institut Pembangunan Ekonomi dan Keuangan (Indef), Andri Satrio Nugroho mengatakan dampak ekonomi dari kebijakan seragam kemasan rokok tanpa identitas merek diperkirakan mencapai Rp308 triliun.

Riset Indef menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan dan menimbulkan kerugian serius bagi sektor industri tembakau yang hingga saat ini menjadi penyumbang besar Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, kata Andri dalam siaran pers dari hari Kamis. 7 November 2024.

Baca juga:

Perekonomian akan melambat pada kuartal ketiga tahun 2024, Gubernur BI mengatakan konsumsi kelas bawah harus dirangsang

Selain itu, Andrey menjelaskan aturan ini juga bisa meningkatkan peredaran rokok ilegal. Produk tembakau yang tidak berlabel memudahkan pelaku usaha ilegal untuk memasarkan produknya tanpa mengeluarkan uang untuk desain kemasan yang rumit. Hal ini, menurut Andrew, mempersulit pemerintah dalam mengontrol dan mengidentifikasi produk sehingga meningkatkan potensi tumbuhnya rokok ilegal di pasaran.

Baca juga:

Gubernur BI memberi sinyal akan menurunkan suku bunga acuan pada tahun 2025

Terkait penerimaan negara, Endri mengingatkan jika ketentuan tersebut diterapkan, ada kemungkinan hilangnya penerimaan negara sebesar Rp160,6 triliun atau sekitar 7% dari total penerimaan pajak. Hal ini berpotensi menghambat target pendapatan pemerintah sebesar Rp 218,7 triliun pada tahun ini yang semakin menyulitkan pemerintah.

Industri tembakau merupakan salah satu sektor utama perekonomian Indonesia. Sebelum pandemi, sektor ini menyumbang 6,9% terhadap PDB, meskipun porsinya terus menurun setiap tahunnya. Andriy mengingatkan, besarnya peran industri tembakau dalam perekonomian tidak bisa diabaikan, terutama dalam konteks upaya pemerintah meningkatkan pembangunan ekonomi.

Selain berkontribusi terhadap PDB, sektor tembakau juga menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Indef, sekitar 2,29 juta orang atau 1,6% angkatan kerja di Indonesia terkait dengan industri ini. Andri menekankan, kebijakan tersebut dapat mengancam lapangan kerja mereka dan membuat mereka lebih rentan terhadap ketidakpastian perekonomian.

Andri juga meminta adanya koordinasi antarkementerian dalam pengembangan kebijakan terkait industri tembakau. Ia berpendapat, ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi Kementerian Kesehatan atau Kementerian Keuangan saja, namun Kementerian Perdagangan dan Kementerian Ketenagakerjaan juga harus dilibatkan agar dampak kebijakan tersebut dapat terlihat secara komprehensif.

Ketentuan zonasi dalam PP 28/2024 yang melarang penjualan rokok di sekitar satuan pendidikan juga menjadi fokus. Menurut Andri, kebijakan zonasi ini bisa merugikan pelaku usaha ritel yang sudah beroperasi di kawasan tersebut. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan keseimbangan antara melindungi kesehatan masyarakat dan kelangsungan usaha kecil.

Kios tembakau di minimarket (foto)

Kios tembakau di minimarket (foto)

Di sisi lain, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang kemasan rokok dianggap sebagai bentuk intervensi asing terhadap kemandirian perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor tembakau. Prof. Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional, menilai kebijakan tersebut serupa dengan yang diterapkan di Australia pada tahun 2012, yang saat itu justru ditolak oleh Indonesia.

“Sekarang kami benar-benar ingin menerapkan apa yang kami lawan sebelumnya. Ini sangat membingungkan,” ujarnya.

Prof. Hikmahanto menegaskan, Indonesia sebagai negara produsen tembakau tidak boleh tunduk pada peraturan yang mengacu pada pedoman negara lain atau organisasi internasional. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang berpihak pada kepentingan ekonomi internal dan menolak intervensi yang dapat mengancam stabilitas ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Halaman selanjutnya

Selain berkontribusi terhadap PDB, sektor tembakau juga menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Indef, sekitar 2,29 juta orang atau 1,6% angkatan kerja di Indonesia terkait dengan industri ini. Andri menekankan, kebijakan tersebut dapat mengancam lapangan kerja mereka dan membuat mereka lebih rentan terhadap ketidakpastian perekonomian.

Halaman selanjutnya



Sumber