Jumat, 8 November 2024 – 23:48 WIB
Jakarta – Keinginan kuat untuk melindungi budaya, tradisi dan hak-hak masyarakat adat mendorong Nukila Evanti, ketua Indigenous Community Initiative (IMA), untuk melakukan advokasi terhadap komunitas berbagai suku maritim di Indonesia. Salah satu kunjungan terakhirnya membawa Nukila ke Desa Berakit, Teluk Sebong, di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, dimana ia bertemu langsung dengan komunitas suku laut setempat.
Baca juga:
Atlet triatlon Andy Wibowo berbagi pengalaman petualangannya di Thule Expo
Sebagai peneliti Forum Internasional Perempuan Adat (FIMI), Nukila tidak hanya melakukan advokasi, namun juga melakukan penelitian mendalam mengenai keberadaan dan keunikan cara hidup masyarakat suku laut. Dalam kunjungannya ke Desa Berakit, Nukila mendapatkan beberapa penemuan penting tentang kehidupan masyarakat Suku Laut di sana. Pindah lagi, oke?
“Saya bertemu dengan ketua suku laut Kajang yang bernama Titin, saya menemukan secercah harapan tentang keberadaan suku laut. Mengapa? Karena saya melihat masih ada generasi muda yang ingin menjaga tradisi dan warisan suku laut. Misalnya, Titin yang berusia 33 tahun masih menyimpan ilmu yang diwarisi orang tuanya. Sebut saja, Titin masih mengontrol arah angin dan arus laut saat kapal melaju di lautan. Tak hanya itu, saat berada di laut, Titin mengetahui arah ikan dari bau ikannya, jelas Nukila.
Baca juga:
Reaksi Zulhos atas penandatanganan Perpres Prabowo untuk Hapuskan Kredit Macet Petani dan Nelayan
Nukila pun bercerita tentang pengalaman Titin bahwa ajaran orang tuanya tentang hidup selaras dengan alam membawa dampak yang besar.
Baca juga:
Pemaparan Hasil Penelitian, Ombudsman RI: Ada Disparitas Ketentuan Jaminan Sosial
Titin selalu ingat nasehat orang tuanya, ‘jika kamu menghargai alam, maka alam akan menghargai kamu, jadi jangan serakah.’” Titin juga senang mencari teripang, menusuk ikan di bawah laut, dan bahkan berlatih berjalan di bawah air tidak mungkin di mata orang, dia sangat menikmatinya,” kata Nukila.
Namun pertemuan dengan perempuan suku laut membawa cerita yang lebih menyedihkan tentang perubahan lingkungan yang mereka alami.
“Mereka menunjukkan bahwa orang-orang sekarang serakah. Salah satu contohnya adalah emisi yang tidak terkendali akibat maraknya pembuangan minyak dari kapal. “Masyarakat suku laut sangat terpukul karena maraknya alat tangkap modern yang menghancurkan kehidupan suku laut, bahkan maraknya proyek-proyek pembangunan yang tidak mempertimbangkan keberadaan suku laut,” kata Nukila.
Menurut cerita Titin, masyarakat Suku Laut tidak memiliki harta yang lebih berharga dari laut beserta isinya, dan menganggap ekosistem laut sebagai daya tarik mereka yang sebenarnya. Selain itu, Nukila mencatat kondisi kehidupan masyarakat suku laut yang semakin meningkat.
“Mereka tidak bisa menangkap ikan di dekat tempat tinggalnya karena lautnya tercemar sehingga sulit mencari ikan. Padahal sumber pendapatannya adalah nelayan. Mau tidak mau, mereka harus mencari ikan sampai ke perbatasan negara tetangga. negaranya, Malaysia.” jelas Nukila.
Dalam situasi yang memprihatinkan tersebut, para perempuan suku laut seperti Titin, Meri, Sarima dan seorang lelaki tua bernama Sakdia menyampaikan harapannya kepada pemerintah. Mereka meminta Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatian agar pembangunan, khususnya yang dilakukan oleh para pengusaha, lebih memperhatikan keberlangsungan hidup mereka.
“Seiring dengan dampak limbah kapal dan industri ekstraktif yang mengurangi hasil tangkapan ikan, pendapatan nelayan pun berkurang secara signifikan,” kata Nukila.
Halaman berikutnya
“Mereka menunjukkan bahwa orang-orang sekarang serakah. Salah satu contohnya adalah emisi yang tidak terkendali akibat maraknya pembuangan minyak dari kapal. “Masyarakat suku laut sangat terpukul karena maraknya alat tangkap modern yang menghancurkan kehidupan suku laut, bahkan maraknya proyek-proyek pembangunan yang tidak mempertimbangkan keberadaan suku laut,” kata Nukila.