Sabtu, 16 November 2024 – 11:39 WIB
Bogor, VIVA – Nadiya Putri Darmawan, siswi beragama Kristen di Bogor, terpaksa bersekolah di tsanavi masdras yang setara dengan SMA, karena tidak mampu bersekolah di SMA Negeri Darmawan. Bahkan karena kekurangan biaya, ia kini terancam putus sekolah untuk melanjutkan studi ke SMA.
Baca juga:
Ruang kelas di sebuah sekolah dasar di Sukabumi roboh saat proses belajar mengajar
“Mau banget sekolah. Mau kuliah di jurusan kecantikan di Bortses, tapi nggak punya biaya,” kata Nadia, salah satu siswi MTS Nurul Huda, saat ditemui. VIVA Sumur di rumahnya di Desa Wangi, Desa Kayu Manis, Tanah Sareal, Jumat 15 November 2024.
Nadia mengaku sudah berhijab sejak duduk di bangku kelas dua sekolah dasar (setara SD). Nadia yang belajar dari teman-temannya, terbiasa mengikuti peraturan sekolah selama bertahun-tahun di sana. Faktanya, Nadia sedang belajar bahasa Arab.
Baca juga:
Coding diajarkan di sekolah dasar, Menteri Pendidikan Dasar: Bukan mata pelajaran wajib
“Iya kalau sekolah pakai hijab, biasa saja di sana sejak SD. Belajar menulis (Arab) juga bisa,” kata Nadia.
Baca juga:
Pemerintah daerah menyatakan sistem zonasi PPDB konsisten dengan pemerataan akses dan kualitas pendidikan, namun terdapat kekurangan
Nadia Auw lahir dari pasangan Rudy Darmawan dan Merry Natalia. Pasangan itu bekerja serabutan sebagai pedagang keliling. Nadia merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Adik Nadia, Jason Felix Darmawan dan Lionel Febri Darmawan, bersekolah di SD di SDN Kayu Manis 1, Bogor. Saat ini si bungsu masih bayi berusia tiga tahun.
Berasal dari keluarga miskin, keluarga Nadia berharap seluruh anaknya mendapat dukungan pendidikan dari pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) pemerintahan Joko Widodo.
Ayah Nadia, Auw Rudi Darmawan, sapaan akrab Kiki, mengatakan, “Saya belum dapat KIP. Saya sudah mendapat bantuan PIP dari pemerintah, tapi saat itu hanya Leonel.”
Menurut Kiki, Nadia saat ini duduk di bangku kelas 9 MTS Nurul Huda, tak jauh dari rumahnya. Nadia terpaksa tidak melanjutkan SMA Negeri karena sejak duduk di bangku kelas 2 SD, ia terdaftar di lembaga pendidikan dengan yayasan yang sama yaitu Madrasya Ibtidaiyah (MI) Nurul Hudada o jatuh.
Jadi ketika Nadia pindah dari Jakarta, saat duduk di bangku kelas dua SD, Nadia datang ke sini karena tidak bisa masuk ke Tanah Air, ujarnya.
Setelah lulus dengan ijazah MI, Nadia masih tertahan karena tidak punya uang untuk membayar biaya sekolahnya. Oleh karena itu, Nadiya harus melanjutkan studinya di yayasan tersebut.
“Jadi saya mau masuk SMA Negeri, tapi tidak ada biaya, harus bayar biaya dari kelas dua sampai lulus. Sejauh ini di MTS belum bayar, bagaimana dengan sekolahnya, kata Kiki. .
Meski keluarganya beragama Kristen, Kiki mengaku tak khawatir dengan keimanan Nadia yang bersekolah di madrasah. Pasalnya Nadia rutin ke gereja setiap akhir pekan.
“Kalau punya agama sendiri, nggak usah khawatir, kalau ke sekolah pakai hijab, itu aturan sekolah, tapi kalau pulang terbuka,” ujarnya.
Diakui Kiki, setelah lulus MT, Nadia terpaksa tidak melanjutkan SMA karena terkendala biaya. Kiki berharap anak-anaknya mendapat bantuan dari pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar.
“Setelah lulus, saya akan membiayai dua juta untuk masuk SMA pada Juni tahun depan. Saya tidak punya uang, apalagi membiayai sekolah, makan saja susah. Saya sudah sepuluh tahun tidak pernah menerima gaji, sejak kelas satu SD, mungkin dia akan lulus SD hingga SMA sesuai sekolahnya, jadi saya ingin mencarikan pekerjaan untuk Nadia, ”ujarnya.
Halaman selanjutnya
Berasal dari keluarga miskin, keluarga Nadia berharap seluruh anaknya mendapat dukungan pendidikan dari pemerintah, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) pemerintahan Joko Widodo.