Sabtu, 23 November 2024 – 07:18 WIB
Jakarta – Beberapa waktu lalu, pengguna jejaring sosial dihebohkan dengan kabar wanita tersebut mengalami resistensi terhadap antibiotik. Awalnya, wanita tersebut didiagnosis menderita infeksi saluran kemih. Kemudian para dokter bersikeras untuk memasukkannya ke rumah sakit.
Baca juga:
Taruna berjanji akan memastikan DNA Salmon Skin Care telah ditarik oleh BPOM karena klaim yang berlebihan
Banyaknya obat yang diberikan selama perawatan ini tidak mempengaruhi kondisinya secara signifikan. Meskipun ia juga diberikan antibiotik untuk infeksi yang dideritanya.
Wanita tersebut kemudian diuji dan ditemukan kebal terhadap antibiotik. Wanita ini dinyatakan resisten terhadap lima antibiotik yaitu Quinupristin/Dalfopristin, Erythromycin, Ciprofloxacin, Levofloxacin dan Tetracycline. Dari kejadian tersebut, ia menduga penyebab resistensi antibiotik adalah seringnya konsumsi ikan salmon mentah dalam sushi.
Baca juga:
Paling populer: Pisces membuat keputusan besar, manfaat ajaib dari DNA salmon.
“Jadi ternyata hobi makan ikan salmon itu bahaya banget, apalagi kalau dianggap remeh dan tidak dicek dari mana sumber ikan salmon itu, baik yang dibudidayakan maupun yang liar. Jadi saat ini, semua ikan salmon yang murah harusnya berlipat ganda. – periksa apakah salmon itu monster? “Jika Anda menanamnya, itu membuat stres dan bertahan sampai Anda memanennya Anda harus makan pelet untuk itu. Nah, pakan pelet biasanya mengandung antibiotik,” kata perempuan itu dalam cerita di akun TikToknya beberapa bulan lalu.
Baca juga:
Berikut 5 makanan kaya protein untuk mengatur berat badan dan gula darah, menurut ahli diet
Pengalaman wanita ini juga Dr. Ayman Alatas berbicara. Dalam podcast terbarunya bersama Agatha Gritte, ia menjelaskan bahwa makan banyak salmon mentah dapat menyebabkan resistensi antibiotik. Penelitiannya di Surabaya menemukan bahwa penggunaan antibiotik dalam proses peternakan terkadang melebihi batas. Ayman mengatakan, terkadang penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat meninggalkan residu antibiotik di tubuh ternak.
“Memang ada kemungkinan, ada penelitiannya, dan itu dilakukan di Surabaya, Indonesia, pada daging. Tapi di luar negeri, itu ikan, unggas. Makanya dalam proses peternakannya diberi antibiotik, kadang melebihi batas. pada daging, kotorannya bisa tertinggal di jaringan,” jelasnya.
Ia menemukan bahwa tidak mungkin menghilangkan residu antibiotik pada jaringan daging ternak. Jadi ketika seseorang memakan daging ini, tanpa disadarinya seperti meminum antibiotik.
“Saat proses pemasakan, residu antibiotiknya tidak hilang. Jadi kalau masuk ke dalam tubuh, kita seperti sedang mengonsumsi antibiotik, tapi dosisnya tidak jelas. Jadi bakteri di sistem pencernaan, ketika antibiotik itu ada. mereka , bakteri belajar dan menjadi kebal terhadap antibiotik, – katanya.
Ia menambahkan, residu antibiotik yang menempel pada jaringan tubuh hewan tidak dapat dihilangkan melalui proses pemasakan. Akibatnya, ketika kita mengonsumsi makanan mentah yang terkontaminasi residu antibiotik, tanpa sadar kita memasukkan antibiotik ke dalam tubuh.
Bedanya, residu antibiotik ini tidak hilang saat proses pemasakan dan tidak menimbulkan efek langsung seperti keracunan makanan. Tubuh kita tidak terasa, ia hanya diam saja. Nantinya, bakteri di tubuhnya menjadi kebal terhadap residu tersebut. “Mungkin kita tidak akan merasakan sakitnya dalam waktu dekat, tapi efek jangka panjangnya berbahaya,” ujarnya.
Pria yang sedang menjalani PPDS bidang mikrobiologi di RSCM Jakarta ini menjelaskan, resistensi antibiotik bukanlah kekebalan tubuh terhadap antibiotik tersebut, melainkan resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut.
“Pertama-tama, Anda perlu memahami bahwa antibiotik dirancang untuk membunuh bakteri. Jika infeksinya adalah virus atau jamur, maka obatnya bukanlah antibiotik. Perlu Anda pahami juga bahwa resistensi antibiotik bukanlah resistensi tubuh kita terhadap antibiotik. Kalau kita sakit, kita tertular bakteri, bakterinya resisten,” jelasnya.
Tak hanya itu, resistensi antibiotik juga bisa terjadi karena kita tidak bijak dalam menggunakan antibiotik. Ia mencontohkan, masih banyak masyarakat yang leluasa menggunakan antibiotik tanpa pengawasan dokter di Tanah Air.
“Terkadang antibiotik dianggap obat ilahi, tidak mudah meminum antibiotik untuk masuk angin, apalagi bagi masyarakat yang bisa membelinya secara gratis. Sekalipun antibiotik adalah obat yang ampuh, sebaiknya diresepkan setelah berkonsultasi dengan dokter. cukup untuk meningkatkan resistensi antibiotik, misalnya jika pasien sebelumnya tidak terkena infeksi bakteri. “Bagusnya, bisa belajar resisten terhadap antibiotik,” jelasnya.
Halaman berikutnya
“Saat proses pemasakan, residu antibiotiknya tidak hilang. Jadi kalau masuk ke dalam tubuh, kita seperti sedang mengonsumsi antibiotik, tapi dosisnya tidak jelas. Jadi bakteri di sistem pencernaan, ketika antibiotik itu ada. mereka , bakteri belajar dan menjadi kebal terhadap antibiotik, – katanya.