Sabtu, 23 November 2024 – 21:36 WIB
Jakarta – Polusi plastik telah menjadi salah satu masalah lingkungan yang paling mendesak di dunia saat ini. Dampaknya tidak hanya dirasakan pada ekosistem darat, tetapi juga pada perairan, mencemari sungai, danau, bahkan lautan. Menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), sekitar 2.000 truk sampah plastik dibuang ke ekosistem perairan setiap hari. Hal ini menyebabkan 19-23 juta ton sampah plastik mencemari lingkungan setiap tahunnya.
Baca juga:
Pengamat mengingatkan pemerintah menunggu khilafah menyebar saat pilkada
Polusi plastik di Indonesia telah mencapai titik kritis dan memerlukan upaya kolektif dari berbagai pihak untuk mengatasinya. Putar lagi.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi plastik yang tinggi. Pada tahun 2021, menurut Kementerian Perindustrian, penggunaan bahan baku plastik mencapai 7.965 metrik ton, dan pada tahun 2022, tingkat daur ulangnya hanya sebesar 12 persen. Situasi ini diperparah dengan pola pikir masyarakat yang masih mengandalkan pendekatan “kumpul-angkut-buang”. Akibatnya, 76,6 persen sampah Indonesia berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan lebih dari separuhnya masih merupakan tempat pembuangan sampah terbuka.
Baca juga:
Jika calon gubernur memenangkan pilkada, maka isu kelompok rentan harus masuk dalam programnya.
Selain itu, peningkatan penggunaan plastik dalam beberapa tahun terakhir semakin menambah beban. Menurut Sistem Informasi Nasional Pengelolaan Sampah (SIPSN), porsi sampah plastik meningkat dari 16,74 persen pada tahun 2019 menjadi 19,59 persen pada tahun 2023. Jika tidak ada tindakan konkrit yang diambil untuk mengatasi masalah ini, BAPPENAS memperingatkan: TPA di Indonesia akan mencapai batas maksimalnya pada tahun 2028 atau lebih cepat.
Baca juga:
Sebelum disetujui, Baleg DPRK menyebutkan ada 299 RUU yang diajukan
Melihat urgensi tersebut, berbagai pengusaha di Indonesia mendukung partisipasi aktif pemerintah dalam Perjanjian Plastik Global PBB. Perjanjian ini diharapkan menjadi solusi strategis untuk mengatasi polusi plastik melalui pendekatan yang mengikat secara hukum yang mencakup seluruh siklus hidup plastik.
Koalisi Bisnis untuk Perjanjian Plastik Global (BCGPT) menyebut Perjanjian Plastik Global sebagai peluang terbaik untuk mengatasi krisis ini. Hal itu tertuang dalam siaran pers BCGPT jelang Sidang ke-5 Inter Governmental Negotiating Committee (INC-5) yang digelar pada 25 November hingga 1 Desember 2024 di Busan, Korea Selatan.
Direktur Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia, Nurdiana Darus, menekankan bahwa solusi global harus lebih dari sekadar tindakan sukarela. Ia juga menekankan pentingnya regulasi yang mengatur batasan produksi plastik dan memperluas tanggung jawab produsen melalui mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR).
“Kita perlu melakukan lebih dari sekedar upaya sukarela karena upaya tersebut belum menyelesaikan masalah,” katanya.
Direktur Hubungan Masyarakat, Komunikasi dan Keberlanjutan Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia), Lucia Karina menekankan perlunya pendekatan holistik dan kerja sama multilateral untuk menyelesaikan masalah plastik.
“Upaya mengatasi masalah plastik perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan di sepanjang rantai nilai plastik, termasuk dunia usaha, pemerintah, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, media dan masyarakat, agar efektif. Diperlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, yang dikenal sebagai konsep kemitraan Nona Helix,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam mengatasi permasalahan ini melalui berbagai kebijakan. Sasaran pengurangan sampah laut sebesar 30 persen dan sampah plastik sebesar 70 persen pada tahun 2025 merupakan salah satu upaya paling ambisius. Pada akhir tahun 2023, penurunan pembuangan sampah plastik ke laut akan menurun dari 651.675 ton pada tahun 2018 menjadi 41,68 persen atau 359.061 ton.
Untuk mendukung proses tersebut, pemerintah mengumpulkan masukan dari berbagai pihak untuk menyusun teks Perjanjian Plastik Global. Naskah ini akan digunakan sebagai bahan diplomasi delegasi Indonesia pada Forum INC-5 yang akan dihadiri oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri dan Kelompok Koordinasi Nasional Pengelolaan Sampah Laut. (TKNPSL).
Halaman berikutnya
Direktur Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia, Nurdiana Darus, menekankan bahwa solusi global harus lebih dari sekedar tindakan sukarela. Ia juga menekankan pentingnya regulasi yang mengatur batasan produksi plastik dan memperluas tanggung jawab produsen melalui mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR).