Kritik pedas Said Didu terhadap Jokowi: kudeta partai yang membesarkannya

Jakarta – Pakar kebijakan publik Said Didu mengkritik Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut dirinya melakukan kudeta terhadap partai yang mengangkatnya.

Baca juga:

Dukungan Prabovo dan Jokowi akan mendongkrak suara Melki-Johni di Pilkada NTT.

Pernyataan tersebut disampaikan pada Selasa, 26 November 2024 di Hotel Sultan, Jakarta, dalam seminar bertajuk “Seminar Pelanggaran Konstitusi, Moralitas, Fufufafa dan Akibat Hukum”.

Menurut Said Didu, kudeta dimulai pada November 2015 ketika Jokowi meninggalkan partai pendukungnya dan mulai beraliansi dengan oligarki untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya.

Baca juga:

Cak menilai dukungan Imin Jokowi mempengaruhi perolehan suara Ridwon Kamil dan Lutfi

Kata Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, saat tiba di Mapolres Tangerang

Foto:

  • VIVA.co.id/Sherly (Tangerang)

“Saya ingin menjelaskan bahwa Jokowi benar-benar melakukan kudeta terhadap negara ini dan partai pendukungnya pada November 2015. Saat itulah saya mencoba membeberkan kasus ‘Paus Minta Bagian’ dan karena saya membuat oligarkinya kesal, dia dikatakan.

Baca juga:

Bela Jokowi, Rampai Nusantara tak sependapat dengan Hasto soal kriminalisasi Anies

“Saya lihat Pak Jokowi di sana, negara ini digulingkan oleh Jokowi dan oligarki. Di sinilah PDIP ditinggalkan, partai ditinggalkan, lanjut Said Didu.

Said Didu juga menyebut perombakan kabinet buruh yang dilakukan Jokowi pada bulan Juli 2016 sebagai puncak pengaruh oligarki, ketika sejumlah menteri yang dianggap jujur, seperti Sudirman Said, Rizal Ramli, dan Anies Baswedan, dikeluarkan dari kabinet.

Jadi pada dasarnya kita harus berasumsi bahwa Jokowi melakukan kudeta dengan kaum oligarki pada tahun 2015 dan berlanjut pada tahun 2017. Setelah itu, Jokowi memandang rendah semua orang, termasuk ketua umum partai yang mengangkat Jokowi sebagai keluarganya. ‘Keluarga berarti semua orang’, kata mantan Sekretaris BUMN itu.

Said Didu juga menyebut oligarki sebagai pemain kunci dalam kebijakan Jokowi, termasuk mereka yang mendukung dinasti politiknya. Terutama soal putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang terpilih menjadi wakil presiden bersama Presiden Indonesia Prabowo Subianto.

“Jadi, siapa yang tertarik dengan (wakil) Presiden Gibran?” Oligarki. Siapa yang tertarik melemahkan Prabowo? Oligarki, katanya.

Said Didu juga menuding pemerintahan era Jokowi sengaja melemahkan struktur pendidikan dan sosial agar masyarakat tetap bergantung pada bantuan sosial.

“Mengapa Jokowi melakukan hal tersebut? Karena dia tahu, IQ manusia Indonesia yang diciptakannya saat ini hanya 78. 78, IQ 78. Ya, itu terlihat dari 120 juta penerima kesejahteraan. Kami mengharapkan bantuan sosial setiap 3 bulan sekali. Hal tersebut merusak sistem pendidikan nasional sehingga pendidikan kini hanya 60% sekolah dasar ke bawah. “Yah, dia tahu struktur sosialnya seperti itu, jadi oligarki bisa mengatasinya,” ujarnya.

Said Didu pun menyalahkan sejumlah kebijakan seperti UU Cipta Kerja dan Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai bukti kekuasaan oligarki di pemerintahan Jokowi. Menurutnya, undang-undang ini merupakan perintah kaum oligarki yang tujuannya mengubah arah pembangunan untuk kepentingan segelintir orang.

Said Didu menambahkan, berbeda dengan era Bung Karno dan Soeharto yang masih dikuasai oligarki, pemerintahan Jokowi memberikan ruang bagi oligarki untuk menguasai negara.

Nah, saya katakan, oligarki hari ini, kalau oligarki zaman Pak Bung Karno, ada di halaman. Dagingnya dibuang, ayamnya dibuang, keluar rumah. Kalau Pak Harto di pendopo. Anda tidak bisa memasuki ruang tamu. Saat Jokowi mengusir warga, dia ada di dalam, di dapur mereka, dapur mereka. “Inilah oligarki, beginilah semakin kuat,” ujarnya.

Mengakhiri pernyataannya, Said Didu meminta rakyat mengambil kembali kedaulatan negara dari tangan oligarki. Ia juga meminta dukungan oknum-oknum yang berpihak pada pemulihan kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam visi “Paradoks Indonesia” yang diusung Prabowo Subianto.

“Nah, sekarang dia punya kepentingan untuk kelancaran Fufufafa. Jadi yang kita perjuangkan adalah merebut kembali kudeta yang dilakukan oligarki dan dinasti Jokowi di negeri ini. Kita harus terima itu. Dan kembali kedaulatan kepada rakyat dengan mekanisme yang ada.” – tutupnya.

Seminar juga dihadiri oleh Bivitri Susanti, pakar hukum STIH Jentera, pakar hukum Univ. Andalas Feri Amsari, pakar telematika Roy Suryo Notodiprojo, Anggota DPR RI Deddy Yevri Khanteru Sitorus dari Fraksi PDIP dan budayawan Eros Djarot.

Halaman berikutnya

Jadi pada dasarnya kita harus berasumsi bahwa Jokowi melakukan kudeta dengan kaum oligarki pada tahun 2015 dan berlanjut pada tahun 2017. Setelah itu, Jokowi memandang rendah semua orang, termasuk ketua umum partai yang mengangkat Jokowi sebagai keluarganya. ‘Keluarga berarti semua orang’, kata mantan Sekretaris BUMN itu.

Halaman berikutnya



Sumber