Selasa, 26 November 2024 – 17.02 WIB
VIVA – BPJS Ketenagakerjaan mengambil langkah strategis dengan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Jaminan Sosial Tahun 2024 untuk mendorong produktivitas pekerja dan pertumbuhan ekonomi nasional melalui optimalisasi jaminan sosial ketenagakerjaan.
Baca juga:
UMP Jakarta 2025 akan diumumkan setelah pilkada
Acara yang digelar pada 26 November 2024 di Hotel Bidakara Jakarta Selatan ini merupakan yang pertama di Indonesia dan dibuka resmi oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli.
Baca juga:
Sosialisasi standar pelayanan, BPJS Ketenagakerjaan memberikan pelayanan yang cepat dan akurat
Yassierli menyampaikan dukungan dan terima kasih atas kegiatan ini dalam sambutannya.
Ia berharap debat ini dapat mengembangkan strategi jaminan sosial bagi masyarakat.
Baca juga:
3 kecelakaan tol tvPemalang yang menewaskan satu kru menerima tunjangan BPJS ketenagakerjaan.
“Saya berharap dari hasil pembahasan itu benar-benar keluar strategi dan solusinya. Dan kita tunggu saja regulasinya, kebijakan dan strategi apa yang sebaiknya kita lakukan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara,” kata Yasyerli.
Menurutnya, saat ini BPJS Ketenagakerjaan masih sejalan dengan fungsinya memberikan jaminan sosial bagi masyarakat dan diharapkan terus memperluas kepesertaannya untuk mencari strategi preventif.
Selain itu, Menteri Tenaga Kerja meninggalkan beberapa hal untuk dibahas, termasuk perlunya pendekatan yang lebih preventif terhadap perlindungan jaminan sosial dan jaminan kerja.
“BPJS Ketenagakerjaan akan sangat berperan penting dalam tindakan atau intervensi proaktif ke depan. Kita tunggu hasil rekomendasinya,” ujarnya.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo menjelaskan, keberadaan Social Security Summit 2024 merupakan jawaban atas tantangan besar yang saat ini dihadapi sejumlah negara berpendapatan menengah, termasuk Indonesia. “perangkap pendapatan menengah”.
Fenomena ini terjadi ketika negara-negara berpendapatan menengah mengalami stagnasi dan kesulitan melakukan transisi ke status negara berpendapatan tinggi.
“Salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya middle income trap adalah belum memadainya sistem jaminan sosial yang mampu mendukung pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan,” jelas Anggoro.
Menurutnya, kesenjangan dalam distribusi sumber daya, dan rendahnya akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial membuat masyarakat semakin rentan sehingga menghambat inovasi dan produktivitas.
Selain itu, sektor informal saat ini mendominasi angkatan kerja Indonesia, yaitu hampir 60 persen atau 84,13 juta orang. Selain itu, demografi penduduk Indonesia sedang memasuki era penuaan dengan proporsi penduduk lanjut usia yang semakin meningkat.
Menurut Anggoro, hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dan semua pihak, karena pekerja informal dan penduduk lanjut usia berisiko jatuh miskin jika mengalami risiko sosial ekonomi.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, perluasan jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan kebutuhan mutlak.
Sebab, jumlah pekerja yang terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan pada Oktober 2024 baru mencapai 40,83 juta jiwa dan segmen formal atau 25,8 juta pekerja didominasi oleh kelompok penerima upah (PU). Sementara jumlah pekerja informal atau pekerja bukan penerima upah (BPU) sebanyak 9,4 juta pekerja.
Dengan melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil, Social Security Summit 2024 diharapkan dapat menjadi forum diskusi untuk memberikan solusi inovatif dan strategi kolaboratif dalam mengatasi tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia, khususnya kesejahteraan pekerja. , ini adalah tujuan kita bersama.
“Kerja sama seluruh pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia merupakan langkah penting dalam melindungi hak dan kesejahteraan pekerja. Saya yakin dengan kerja sama yang erat dari semua pihak, kita dapat bekerja sama membangun Indonesia yang sejahtera. ,” tutupnya. Anggoro.
Halaman berikutnya
Selain itu, Menteri Tenaga Kerja meninggalkan beberapa hal untuk dibahas, termasuk perlunya pendekatan yang lebih preventif terhadap perlindungan jaminan sosial dan jaminan kerja.