Rabu, 27 November 2024 – 18:07 WIB
Penulis: Yayan Hidayat (mahasiswa PhD Universitas Indonesia bidang Ilmu Politik)
Baca juga:
Usai pencoblosan di Solo, Wakil Presiden Gibran menginformasikan kepada Presiden Prabowo
Sang Ekonom menggambarkan keadaan kritis demokrasi yang terjadi secara sistematis di berbagai belahan dunia. Faktanya, Indonesia masuk dalam kategori “demokrasi cacat”. Demokrasi telah mengalami kemunduran yang signifikan secara global selama lebih dari satu dekade, dan bahkan terdapat tanda-tanda nyata pergeseran dari demokratisasi ke otoritarianisme.
Kepentingan ekonomi global seringkali mengabaikan hak asasi manusia. Negara seringkali memihak perusahaan multinasional dalam mengejar kepentingan investasi, namun juga berupaya memenuhi dan menghormati hak warga negara untuk melakukan pembangunan bersama.
Baca juga:
Anies Imbau Warga Jakarta Tolak Kebijakan Moneter dan Bansos Bersyarat: Jangan Ubah Pilihan
Masalah globalisasi dan demokrasi
Globalisasi mengaburkan batas-batas negara, memperkuat hubungan antar negara, dan menciptakan tantangan lintas batas seperti perubahan iklim dan kesenjangan ekonomi. Hold berpendapat bahwa negara-negara demokrasi tradisional tidak lagi mampu mengatasi kompleksitas ini secara efektif. Hold juga mengkritik bentuk globalisasi neoliberal yang mengabaikan kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi. Dalam pandangannya, globalisasi seperti ini melemahkan kedaulatan negara dan melemahkan prinsip-prinsip demokrasi, karena kekuasaan semakin terkonsentrasi di tangan entitas non-demokratis, seperti perusahaan multinasional dan lembaga keuangan internasional.
Baca juga:
Sindikat-sindikat tersebut mengingatkan Prabowo bahwa ia harus mematahkan budaya politik perempuan saat pilkada
Para ulama terbagi menjadi tiga kelompok dalam pandangannya terhadap globalisasi, yaitu kelompok hiperglobalis, kelompok transformasional, dan kelompok skeptis. Inti dari visi hiperglobalis dapat diringkas sebagai sejarah baru kehidupan manusia, di mana “negara-negara tradisional telah kehilangan arti penting, apalagi menjadi unit bisnis dalam perekonomian global menjadi tidak mungkin. Globalisasi ekonomi menimbulkan gejala “denasionalisasi ekonomi” ” .dengan membangun jaringan produksi, perdagangan dan keuangan transnasional.
Kelompok kedua adalah kelompok transformasionis. Inti dari visi kelompok ini adalah keyakinan bahwa globalisasi adalah kekuatan utama di balik perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang membentuk kembali masyarakat modern dan tatanan dunia. Menurut kaum transformasionalis, globalisasi saat ini telah menggantikan kekuasaan, fungsi, dan pemerintahan nasional. Salah satu poin penting dari kaum transformasionis adalah bahwa negara tidak bisa lagi bersembunyi di balik klaim kedaulatan nasional.
Berikutnya kelompok ketiga adalah kelompok skeptis. Tesis utama kelompok ini adalah bahwa globalisasi bukanlah fenomena yang sepenuhnya baru, namun mempunyai akar sejarah yang panjang. Kekuatan global sangat bergantung pada kekuasaan pemerintahan nasional untuk menjamin kelanjutan liberalisasi ekonomi. Mereka yang skeptis berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi akan melampaui negara-negara Dunia Ketiga karena perdagangan dan investasi hanya akan mengalir ke negara-negara kaya.
Demokrasi sedang krisis?
Tesis umum neoliberal mengenai kebebasan pasar dan demokratisasi politik gagal. Di sisi lain, globalisasi ekonomi yang menekankan dominasi pasar terhadap negara semakin melemahkan demokrasi. Ancaman terhadap demokrasi datang dari perusahaan-perusahaan multinasional yang kini telah memantapkan diri mereka sebagai kekuatan ekonomi dan politik global. Semakin besar kekuatan politik korporasi dan partai-partai yang bersekutu, maka kekuatan politik rakyat semakin melemah dan makna demokrasi semakin hilang.
Hal ini disebabkan karena globalisasi ekonomi belum tentu menciptakan kesejahteraan seperti yang dikemukakan oleh para pendukung globalisasi ekonomi, namun globalisasi ekonomi telah menciptakan ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan meluasnya kemiskinan. Dengan kata lain, globalisasi ekonomi yang mengagungkan kebebasan pasar telah mencabut hak sebagian besar warga negara dan, dalam beberapa kasus, menghancurkan modal sosial.
Demokrasi kosmopolitan
Diadakan mengembangkan gagasan pemerintahan kosmopolitan berdasarkan prinsip keadilan global, hak asasi manusia universal dan tanggung jawab lintas batas. Dalam model ini, lembaga-lembaga internasional memainkan peran sentral dalam menyelesaikan permasalahan global, namun didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi. Ia juga menekankan pentingnya memperkuat organisasi global seperti PBB dan lembaga multilateral lainnya untuk memastikan organisasi tersebut lebih inklusif, transparan, dan akuntabel.
Model demokrasi tradisional yang berbasis negara tidak lagi cukup untuk mengatasi permasalahan lintas batas negara seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, hak asasi manusia dan migrasi. Permasalahan ekonomi politik seringkali memunculkan praktik-praktik yang melemahkan demokrasi. David Held mengusulkan pendekatan kosmopolitan yang berupaya menciptakan kerangka demokrasi yang melampaui batas-batas negara.
Buku Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan Karya David Held (2004) merupakan upaya untuk mengadaptasi demokrasi agar dapat bertahan di dunia yang terus berubah. David Held mengkaji evolusi demokrasi modern, khususnya yang berkaitan dengan perubahan besar dalam sistem politik dan ekonomi global. Ia menggambarkan bagaimana demokrasi, yang awalnya berakar pada sistem negara-bangsa, kini menghadapi tantangan meningkatnya globalisasi.
Judul Buku: Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan
Penerbit: Perpustakaan Pelajar, Yogyakarta
Edisi Pertama: Oktober 2004
Halaman: 405+xxxi
Halaman selanjutnya
Tesis umum neoliberal mengenai kebebasan pasar dan demokratisasi politik gagal. Di sisi lain, globalisasi ekonomi yang menekankan dominasi pasar terhadap negara semakin melemahkan demokrasi. Ancaman terhadap demokrasi datang dari perusahaan-perusahaan multinasional yang kini telah memantapkan diri mereka sebagai kekuatan ekonomi dan politik global. Semakin besar kekuatan politik korporasi dan partai-partai yang bersekutu, maka kekuatan politik rakyat semakin melemah dan makna demokrasi semakin hilang.
Penafian: Artikel ini merupakan kiriman pengguna VIVA.co.id yang diposting di saluran VStory berdasarkan User Generated Content (UGC). Segala isi tulisan dan isi didalamnya adalah tanggung jawab penulis atau pengguna.