MK Tegaskan Amanat KPK Usut Korupsi Militer: Singkirkan Keengganan dan Budaya Evuh Pakewuh

Jumat, 29 November 2024 – 13.36 WIB

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MC) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang mengusut kasus korupsi di kalangan tentara, bahkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), jika perkara tersebut pertama kali diajukan oleh KPK, kata itu .

Baca juga:

Mahkamah Konstitusi siap menerima permohonan perselisihan Pilkada 2024, berikut langkah-langkahnya

Tuntutan tersebut merupakan penafsiran baru terhadap Pasal 42 Undang-undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 (UU 30/2002) Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Nomor 87/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan pengacara Gugum Ridho Putra.

Akrim, putusan mengabulkan sebagian permohonan pemohon, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo saat membacakan putusan pada sidang pengumuman di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Jumat, 29 November 2024.

Baca juga:

3 pegawai Kementerian Perhubungan ditangkap KPK karena terlibat kasus korupsi DJKA.

Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 pada mulanya hanya menyatakan: “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berwenang mengoordinasikan dan mengawasi penyidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang-orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.” .

Penyidik ​​Puspom TNI dan KPK menggeledah kantor Basarnas

Baca juga:

Strategi pertahanan Indonesia ala Jenderal TNI Prabowo, merupakan benteng alami ekonomi militer

Mahkamah Konstitusi menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat, sehingga pada bagian akhir ditambahkan kalimat afirmatif: “Jika perkara yang dimaksud adalah penerapan undang-undang, maka akan diperiksa oleh pengadilan. .Diprakarsai atau dimulai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi /terdeteksi.

Dalam pendapat hukumnya, Mahkamah menilai permasalahan perkara korupsi yang melibatkan unsur sipil dan militer atau disebut juga korupsi komunikasi, muncul karena adanya perbedaan penafsiran di kalangan aparat penegak hukum terhadap rumusan Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002.

Padahal, menurut Mahkamah Konstitusi, jika ketentuan pasal ini dipahami secara gramatikal, teleologis, dan sistematis, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi di lembaga penegak hukum mempunyai kewenangan mengoordinasikan dan mengendalikan penyidikan. penyelidikan dan penuntutan kejahatan. kasus korupsi yang melibatkan unsur sipil dan militer.

Menurut pengadilan, permasalahan dalam kasus korupsi bukan hanya kepatuhan terhadap norma hukum, tetapi juga kepatuhan aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum.

“Dalam hal ini hendaknya aparat penegak hukum mengesampingkan budaya ambivalensi atau ewuh pakewuh terhadap tindak pidana korupsi, apalagi pada hal-hal yang diatur secara tegas dalam undang-undang,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memandang perlu menyetujui Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002.

Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan ini memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki, mengusut, dan mengadili perkara korupsi yang terdeteksi/dihasut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Komisi.

Artinya, apabila tindak pidana korupsi dilakukan secara bersama-sama oleh satuan sipil dan militer, maka kerja sama mereka sejak awal dilakukan oleh Panitia Pemberantasan Korupsi, atau jika diprakarsai maka perkaranya dilaksanakan. oleh Komite Pemberantasan Korupsi meningkat. sampai ada putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

“Sebaliknya, lembaga-lembaga hukum lain tersebut tidak mempunyai kewajiban untuk mengadili tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang diadili di pengadilan militer, yang diidentifikasi dan diselidiki oleh lembaga penegak hukum lain, kecuali komisi anti korupsi. Panitia Pemberantasan Korupsi,” kata Suhartoyo saat mengenal pendapat hukum Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 selengkapnya berbunyi: “Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bertanggung jawab atas penyidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang perseorangan dan jenderal di bawah yurisdiksi militer, berwenang mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan perkara jika dianggap proses penegakan hukum sejak awal atau dibuka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dengan ditegaskannya Mahkamah Konstitusi tersebut, jika mempertimbangkan proses penegakan hukum, maka Komisi Pemberantasan Korupsi akan menjalankan kewenangannya dalam mengadili perkara terkait tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh aparat sipil dan militer . oleh komisi antirasuah sejak awal.

Halaman berikutnya

“Dalam hal ini hendaknya aparat penegak hukum mengesampingkan budaya ambivalensi atau ewuh pakewuh terhadap tindak pidana korupsi, apalagi pada hal-hal yang diatur secara tegas dalam undang-undang,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Halaman berikutnya



Sumber