Jakarta – Ahli ekologi sekaligus insinyur penghitungan kerugian lingkungan hidup Dadan Sudana Vijaya menilai ada beberapa kesalahan mendasar dalam penghitungan kerugian lingkungan hidup berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 senilai Rp 300 triliun yang digunakan dalam kasus korupsi.
Baca juga:
MK Tegaskan Amanat KPK Usut Korupsi Militer: Singkirkan Keengganan dan Budaya Evuh Pakewuh
“Saya mengetahui penghitungan kerusakan lingkungan hidup dalam surat dakwaan yang dibuat berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 7, dan menurut saya ada beberapa kesalahan dalam penghitungan kerugian. Misalnya soal air, perhitungannya harus berdasarkan volume kubik lahan sementara berdasarkan Peraturan 7, kata Dadan Sudana dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi perdagangan timah dengan tersangka Thamron Cs. Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat, 29 November 2024.
Selain itu, Dadan menilai terkait pengelolaan air, baku mutu yang sama yakni PH 7-9 juga sebenarnya menggunakan nilai baku mutu dalam penghitungan kerugian masyarakat untuk menentukan besaran ganti rugi. berbeda di setiap daerah.
Baca juga:
3 pegawai Kementerian Perhubungan ditangkap KPK karena terlibat kasus korupsi DJKA.
Misalnya saja untuk PH yang digunakan untuk menghitung nilai pH air adalah 7-9, sedangkan baku mutu air di Bangka hanya 4. Informasi nilai parameter di Bangka harus dipelajari terlebih dahulu dan tidak bisa. masuk dengan cara yang sama,” kata Dadan.
Baca juga:
Menteri Lingkungan Hidup: Hentikan TPA yang menggunakan sistem open dumping
Dadan juga mengaku tidak yakin lingkungan telah rusak akibat kasus korupsi tata niaga timah. Sebab dalam penambangan timah tidak menggunakan bahan kimia, dan jika ada limbah, yang ada hanyalah air cucian material dan limpasan air hujan.
“Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menempatkan kekayaan pertambangan PT Timah dalam kategori biru yang artinya sangat bagus. Sedangkan smelternya masuk dalam kategori emas yang berarti negara dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Departemen Kehutanan mengakui bahwa daur ulang timah tidak menjadi masalah, dan menambahkan bahwa “tidak ada pelanggaran lingkungan jika hanya berwarna biru, apalagi emas.” dia melakukannya.
Sementara itu, pakar kerusakan dan restorasi tanah, Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc. Agr mengatakan, menghitung kerugian lingkungan memerlukan seorang ahli, tidak hanya sekedar memasukkan rumus untuk menghitungnya, karena jika demikian, siswa SMA pun bisa melakukan perhitungannya.
“Setiap ekosistem mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga tidak mungkin digeneralisasikan. Misalnya terdapat harimau di suatu kawasan, tidak mungkin menerapkan parameter yang sama pada kawasan lain yang tidak memiliki parameter tersebut. “Apalagi tanah juga mempunyai klasifikasi tersendiri, kelasnya tergantung kondisi,” kata Gunawan.
Misalnya, tidak mungkin mengambil beberapa sampel untuk menghitung kerusakan yang terjadi pada 70.000 hektar lahan. Tentu saja jenis tanahnya berbeda-beda dan membutuhkan ketelitian. “Kalau diambil sampelnya sedikit, berarti itu hanya penemuan, dan kalau itu dilakukan, pasti banyak kesalahannya.
Saat ditanya apakah ada kewajiban bagi pemegang IUP untuk melakukan reklamasi dalam jangka waktu tertentu, Gunawan mengatakan kegagalan melakukan reklamasi bukan merupakan pelanggaran jika IUP tersebut sah.
“Misalnya kita mendapat izin ratusan hektar, tapi yang diproses hanya beberapa puluh hektar. Nantinya reklamasi bisa dilakukan terakhir atau bertahap. “Karena reklamasi terjamin, maka pekerjaan reklamasi perlu direncanakan dan disesuaikan dengan pemanfaatan di masa depan,” kata Ahli Kerusakan dan Restorasi Tanah/Lahan ini.
Gunawan mengatakan, sering terjadi kesalahpahaman di masyarakat bahwa jika dilakukan reklamasi maka lahan harus kembali seperti semula.
“Hal itu tidak boleh terjadi, karena pemerintah sudah memberikan izin yaitu hak menambang, dan tentu ada yang dirugikan. Oleh karena itu sebaiknya direklamasi, namun bukan berarti hutan tersebut harus menjadi hutan kembali, karena dapat dijadikan lahan pertanian atau perkebunan atau sebagai tempat penampungan air. Makanya perencanaannya perlu dikaji ulang,” ujarnya.
Bisa atau tidaknya rencana reklamasi lahan diubah, Gunawan mengatakan hal itu mungkin bergantung pada beberapa faktor, seperti ada tidaknya permintaan masyarakat, reklamasi lahan bisa berubah. Atau misalnya diprediksi bisa ditambang satu juta ton, tapi berpotensi 2 juta, luas tambangnya juga bertambah, maka perusahaan yang punya IUP bisa menawarkan. pemerintah mengenai perubahan ini.
“Ameliorasi bukanlah rehabilitasi, sehingga mengembalikan hutan yang rusak ke keadaan semula tidak masuk akal. “Jadi ada beberapa pemerintah daerah yang memang meminta restorasi dan pengelolaan lahan sesuai kebutuhan,” jelas Gunawan.
Sementara itu, pakar kehutanan Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, MPPA menyatakan, dengan diterbitkannya izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah pusat dan daerah, berarti negara bertanggung jawab penuh atas dampak lingkungan hidup.
“Penerbitan IUP oleh negara sudah melalui analisis untung-rugi. Kerugian akibat pertambangan menjadi tanggung jawab negara, dan badan usaha hanya bertanggung jawab atas reklamasi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan menekankan agar semua pihak berhati-hati dalam menghitung dampak kerugian lingkungan yang ditimbulkan.
“Menghitung nilai jasa-jasa tersebut tidaklah mudah. Ketika ekosistem hutan diubah menjadi tambang, kehilangan lahan dan kerusakan ekosistem akibat aktivitas pertambangan juga harus diperhitungkan secara matang,” ujarnya.
Ia juga mengatakan bahwa pendekatan ekonomi harus digunakan dalam menghitung kerugian lingkungan hidup karena istilah “kerugian” mempunyai implikasi hukum di Indonesia. Caranya adalah dengan membandingkan kondisi awal dan akhir ekosistem, misalnya pada tahun 2018 terdapat perkebunan singkong dan karet dengan nilai jasa ekosistem tertentu, maka setelah terjadi perubahan seperti pertambangan maka nilai ekosistem dihitung ulang, nilai akhirnya lebih kecil atau lebih besar. jadi tidak boleh disebut rugi.
Halaman berikutnya
“Setiap ekosistem mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga tidak mungkin digeneralisasikan. Misalnya ada harimau di suatu tempat, tidak mungkin menerapkan parameter yang sama di wilayah lain yang tidak memiliki parameter tersebut. Apalagi tanahnya juga ada klasifikasinya sendiri, ada kelasnya tergantung kondisinya, kata Gunawan.