Jakarta – Psikolog Anak dan Remaja, Novita Tandry menjelaskan faktor penyebab bocah 14 tahun berinisial MAS membunuh orang tuanya di rumahnya di Taman Bona In, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Baca juga:
Di Lebak Bulus, Bocah 14 Tahun Bunuh Ayah dan Neneknya Karena Kesal Dipaksa Belajar? Berikut pengakuannya
Menurutnya, kejadian tersebut tidak hanya mencerminkan tindakan kriminal, tetapi juga kompleksitas psikologis remaja dan peran lingkungan sekitar.
Novita mengatakan, penyebab pembunuhan seperti itu tidak pernah sendirian, namun berbagai faktor bisa menjadi penyebabnya.
Baca juga:
Polisi mengungkap situasi terkini anak yang membunuh ayah dan neneknya di Lebak Bulus.
“Sungguh kejahatan yang luar biasa, perbuatan membunuh salah satu atau kedua orang tuanya, jika ditanyakan faktor apa saja yang bisa menyebabkan seorang anak membunuh orang tuanya, penyebabnya tidak pernah sendirian, penyebabnya adalah gabungan dari beberapa faktor yang ada”, – Anak dan Psikolog Remaja Novita Tandri Dikutip tvOne Selasa 3 Desember 2024
Baca juga:
Remaja 14 tahun yang membunuh ayah dan neneknya berdoa untuk kesembuhan ibunya, ingin bertemu dengannya dan meminta maaf
Berikut faktor penyebab remaja membunuh orang tuanya:
1. Konflik berkepanjangan
Masalah yang tidak terselesaikan dalam waktu lama dalam keluarga dapat menimbulkan ketegangan emosional. Intervensi dini sangat penting untuk mencegah konflik berkembang menjadi tindakan ekstrem.
“Jika ada konflik yang berkepanjangan dalam keluarga, jangan menunggu terlalu lama, karena jika hubungan putus maka komunikasi akan sulit,” kata Novita.
2. Gangguan perilaku dan emosi
Perubahan perilaku, seperti perubahan suasana hati atau kegagalan melakukan aktivitas normal sehari-hari, sebaiknya diawasi oleh orang tua. Orang tua hendaknya peka dan peka terhadap perubahan sekecil apa pun.
“Kalau ada gangguan tingkah laku, kehidupan sehari-hari yang biasanya normal, lalu berubah, misalnya lebih tenang, murung, gangguan makan, gangguan tidur, hobi yang dulu disukai, jadi tidak disukai lagi,” kata Novita.
“Ini tandanya orang tua harus waspada dan orang tua harus peka,” ujarnya.
3. Tekanan dan krisis identitas
Remaja sedang dalam proses menemukan jati dirinya. Mereka bukan anak-anak lagi, tapi mereka juga bukan orang dewasa. Krisis identitas ini dapat menimbulkan stres sehingga rentan terhadap perilaku impulsif.
“Tekanan berkebun di masa remaja, kalau kita lihat, MAS sedang mengalami apa yang disebut dengan pencarian identitas, atau mungkin dia sedang mengalami yang disebut krisis identitas, sehingga dia bukan lagi anak-anak, tetapi bukan lagi orang dewasa. ..”, kata Novita.
Novita juga mencatat, MAS dalam kondisi fisik yang tinggi, misalnya belum remaja, sehingga bisa jadi ia mengalami krisis identitas.
4. Terpaparnya perilaku kekerasan dan kecanduan
Paparan konten kekerasan seperti video game, acara televisi, atau bahkan perjudian, alkohol, atau obat-obatan juga menjadi faktor yang dapat memperburuk kondisi mental remaja.
“Karena yang dilihat bisa mempengaruhi perilaku anak, maka lihat juga kecanduan narkoba, kecanduan narkoba, seperti judi (judi online), narkoba, dan dampak narkoba, jadi pencegahannya,” kata Novita.
Sekalipun hasil tes urine remaja MAS negatif, paparan terhadap kekerasan tetap harus dipertimbangkan.
Pentingnya peran orang tua
Menurut Novita, orang tua mempunyai tanggung jawab besar dalam memastikan kesehatan mental anak. Ada tiga kebutuhan dasar yang harus dipenuhi orang tua:
- Anak-anak perlu merasakan cinta tanpa syarat
- Anak-anak perlu tahu bahwa mereka didengarkan
- Anak-anak perlu merasa percaya diri
Novita menegaskan, orang tua tidak boleh menuntut terlalu banyak, tapi jangan terlalu banyak melibatkan, hanya menuntut terlalu banyak.
“Introspeksi bisa menjadi pola asuh otoriter, otoriter menuntut tapi tidak pernah hadir, hanya menuntut,” kata Novita.
Novita juga menjelaskan, orang tua bisa menuntut banyak asalkan hadir dan terlibat, bukannya diabaikan.
Solusi pencegahan
Psikolog anak dan remaja Novita Tandri mengimbau masyarakat tidak ragu mencari bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater.
“Jika kita tidak memiliki pengetahuan parenting tentang psikologi anak dan remaja, jangan malu, jangan menganggap pertemuan dengan psikolog atau psikiater sebagai sesuatu yang memalukan dan terlarang,” kata Novita.
“Ada stigmanya, kalau ke psikolog, punya ODGJ, tidak perlu, sama seperti kita ke dokter, kita butuh kesehatan fisik, begitu juga kesehatan mental, kalau tidak bisa. sendiri pakai tenaga medis dengan Psikolog, tidak ada yang tabu dan memalukan,” imbuhnya.
Halaman berikutnya
Masalah yang tidak terselesaikan dalam waktu lama dalam keluarga dapat menimbulkan ketegangan emosional. Intervensi dini sangat penting untuk mencegah konflik berkembang menjadi tindakan ekstrem.