Belajar dari anak berusia 14 tahun yang membunuh ayah dan neneknya, apa yang bisa dilakukan orang tua untuk mencegah hal ini terjadi?

Kamis, 5 Desember 2024 – 02:30 WIB

Jakarta – Kasus penyerangan bocah 14 tahun berinisial MAS di Lebak Bulus, Jakarta Selatan menyita perhatian publik, khususnya para orang tua. Ada banyak pendapat di media sosial tentang apa yang menyebabkan anak berperilaku seperti ini.

Baca juga:

Bocah 14 tahun yang membunuh ayah dan neneknya di Lebak Bulus dijebloskan ke penjara

Yang diperbincangkan banyak orang adalah orang tuanya yang memaksanya belajar agar tidak sempat bermain.

Namun dalam kasus ini, pihak kepolisian, Kepala Suku Dinas Humas Kota Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewey membantahnya. Sejauh ini, kata Nurma, polisi masih mendalami motif MAS melakukan hal tersebut.

Baca juga:

Psikolog telah mengidentifikasi banyak faktor yang menyebabkan remaja berusia 14 tahun membunuh ayah dan neneknya.

“Kami masih menyelidikinya” ujarnya kepada media, Rabu, 4 Desember 2024. Mari kita lanjutkan menelusuri artikel lengkapnya di bawah ini.

Di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, seorang bocah lelaki berusia 14 tahun tega membunuh ayah dan neneknya.

Baca juga:

Kapolres Jakarta Utara mengultimatum polisi agar segera menyerahkan diri kepada pelaku pelempar air keras.

Dengan kejadian tersebut, banyak pihak yang menilai orang tua pelaku turut berperan dalam aksi nekat tersebut. Lantas, adakah hubungan pola asuh orang tua dengan tindakan kekerasan yang dilakukan anak?

Psikolog anak, remaja, dan keluarga Ayoe Sutomo angkat bicara mengenai masalah ini.

Dia menjelaskan, kasus yang dialami remaja 14 tahun tersebut bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Ada faktor kemampuan anak dalam mengatur emosinya.

“Faktor anak itu sendiri adalah kemampuannya dalam mengatur emosinya, jika ia sudah menekan emosinya maka ia terbatas dalam mengungkapkan apa yang diinginkannya, apa yang diharapkannya, sehingga pada akhirnya ia tertekan. “Benar, hal seperti itu terjadi.” ujarnya saat dikonfirmasi VIVA saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2024.

Selain itu, faktor struktural di otak berhubungan dengan masalah mental. Misalnya halusinasi atau delusi yang menyebabkan orang menganut keyakinan yang salah, atau mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak pantas.

Gambar: Polisi berbaris di rumah korban pembunuhan

Gambar: Polisi berbaris di rumah korban pembunuhan

Foto:

  • VIVA.co.id/Yandi Deslatama

Ada juga faktor lingkungan yang terkait dengan paparan informasi yang mengandung konten kekerasan, dan dia hanya tahu cara menyelesaikan masalah dalam situasi terjebak.

“Ini multifaktorial, kita tidak tahu apakah mereka berkontribusi satu sama lain, atau apakah ada satu faktor kuat yang tidak kita ketahui.” – katanya.

Sementara itu, Ayoe Sutomo menjelaskan, orang tua berkaitan dengan pola asuh, orang tua berperan penting dalam membentuk regulasi emosi pada anak.

“Bagaimana anak bisa mengembangkan keterampilan pengaturan emosi yang baik, anak tahu bagaimana menghadapi masalah ketika ada emosi negatif selain kekerasan? Lingkungan terdekat orang tua memainkan peran besar. Ini tentang orang tua, kok. – katanya.

Ayoe menambahkan, ketika anak sudah mampu mengatur emosinya.

Kemudian anak mengembangkan kebiasaan-kebiasaan pada anak, mengajarkan anak untuk mengomunikasikan apa yang dirasakannya, apa yang dipikirkannya dan apa yang diharapkannya, sehingga ia dapat mengetahui cara menyelesaikan masalah dengan lebih baik.

“Pada anak terbentuk regulasi emosi, mampu mengkomunikasikan perasaannya, apa yang dipikirkannya, apa yang diharapkannya, dan mengetahui cara menyelesaikan masalah dengan baik. Jika orang tua menciptakan ruang itu bagi anak jika bersepeda, maka terbentuklah kebiasaan. Dok, apa faktor utama dalam mengajarkan anak cara melakukannya jika ditanya? dia menjelaskan.

Halaman berikutnya

Dia menjelaskan, kasus yang dialami remaja 14 tahun tersebut bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Ada faktor kemampuan anak dalam mengatur emosinya.

Halaman berikutnya



Sumber