Kamis, 5 Desember 2024 – 07:38 WIB
Jakarta – Diskriminasi berbasis gender adalah perlakuan tidak adil yang disebabkan oleh perbedaan gender. Diskriminasi gender sendiri telah mengakar di berbagai negara dan wilayah di dunia sejak lama dan masih menjadi salah satu permasalahan sosial yang paling luas di dunia.
Baca juga:
Karena cemburu membabi buta, sang suami tega menusuk leher istrinya
Hal ini sering kali disebabkan oleh diskriminasi gender, seperti kekerasan terhadap perempuan, ketidaksetaraan atau ketidakadilan gender.
Berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan, pada tahun 2023, berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat lebih dari 450.000 kasus kekerasan berbasis gender yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban.
Baca juga:
Saksi KDRT di Depan Anaknya Memarahi Suami karena Selingkuh Istri di Depan Umum
Kekerasan berbasis gender ini biasanya terjadi di ranah privat, misalnya di rumah. Mari kita lanjutkan menelusuri artikel lengkapnya di bawah ini.
Baca juga:
Kisah Pengalaman Zeda Salim KDRT Sebelum Kehebohan Kunjungi Ammar Zone
Sayangnya, dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, banyak korban yang masih memilih untuk tetap bersama pasangannya. Mengapa demikian?
Meinita Fitriana Sari, M.Psi, psikolog di UPT Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi DKI Jakarta, menemukan salah satu alasan utama mengapa perempuan masih bertahan adalah karena mereka merasakan kasih sayang dan harapan agar pelaku kekerasan bisa bertahan. mengubah.
“Pertama, karena cinta, rasa berharap agar pelakunya berubah. Kemudian keinginan untuk masa depan yang lebih baik, keinginan untuk menyelamatkan pernikahan, biasanya menjadi salah satu alasan mengapa korban KDRT terus berlanjut.” ujarnya dalam Talk Show Uni-Charm Wali Kota Jakarta Selatan pada Rabu, 4 Desember 2024, Hari Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan.
Selain itu, adanya rasa ketergantungan perempuan terhadap pelaku kejahatan. Selain itu, banyak korban yang lemah dalam hal ini, baik secara finansial maupun kepercayaan diri.
“Terus tergantung pelakunya, karena misalnya pembagian peran dalam keluarga tidak adil. Jadi misalnya istri atau korban tidak punya kesempatan untuk mengembangkan atau mengembangkan diri sesuai kemampuannya, jadi pelaku atau suami ada ketergantungan, misalnya “Adanya perilaku seperti itu susah juga”, – katanya.
Lalu, alasan lain mengapa perempuan tetap bertahan meski dianiaya oleh pasangannya adalah kurangnya dukungan di sekitar mereka.
Jadi, ketika melihat kekerasan terjadi di masyarakat, banyak yang paham bahwa itu adalah masalah korban dan pelaku, sehingga pengamat tidak berhak ikut campur.
“Meski ini bentuk kekerasan, namun tidak bisa dibiarkan lagi. Meski banyak orang disekitarnya yang menganggap itu masalah, tapi dia biarkan saja. Kurangnya dukungan, sehingga dia sendiri ‘merasa tertinggal’. dia menjelaskan.
Lalu, banyak juga perasaan, pikiran negatif pada anak yang menyebabkan mereka tetap bertahan dengan pasangannya.
“Lalu kenapa banyak orang yang kasihan pada anak saya? Mungkin juga karena stigma melihat lingkungan sosial yang tidak terkendali.” – katanya.
Di sisi lain, faktor perkembangan anak yang masih dalam masa pertumbuhan di usianya serta adanya faktor psikologis yang membuat korban masih merasakan emosi negatif hingga tidak tahu harus berbuat apa, menjadi alasan lain mengapa perempuan masih hidup.
“Sulit lepas dari penjahat yang menimbulkan kekerasan. Ada ancaman dari penjahat, ada stigma,” ujarnya. – katanya.
Halaman selanjutnya
“Pertama, adanya perasaan cinta, adanya harapan agar pelakunya berubah. Kemudian, keinginan akan masa depan yang lebih baik, keinginan untuk menyelamatkan perkawinan, biasanya menjadi salah satu alasan bertahannya korban KDRT. , ” katanya. Pada hari Rabu tanggal 4 Desember 2024 bertempat di Talkshow Uni-Charm yang diselenggarakan oleh Walikota Jakarta Selatan pada Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.