Polisi Diduga Peras WN Malaysia, LBH Minta Kapolri Minta Maaf ke Korban dan Tindak Tegas Pelaku

Minggu, 22 Desember 2024 – 18:54 WIB

Jakarta – Aparat kepolisian diduga memeras warga Malaysia dengan melakukan tes urine terhadap penonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP). Dugaan kejadian tersebut menjadi sorotan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Baca juga:

Kompolnas meminta Kapolri menindak tegas anggotanya yang memeras penonton DWP asal Malaysia.

Dalam acara DWP 2024, Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan mengecam tindakan yang disebutnya sebagai tindakan sewenang-wenang dan korup yang dilakukan aparat kepolisian di seluruh wilayah Metro Jaya di Polda.

Polisi dalam aksinya diduga memaksanya membayar RM9 juta atau setara Rp 32 miliar untuk pembebasannya. Aksi pria tersebut dilakukan dengan melakukan tes urine terhadap penonton konser DWP.

Baca juga:

Propam telah menangkap 18 anggota asal Malaysia karena diduga melakukan pemerasan terhadap penonton DWP

LBH Jakarta meyakini kejadian ini bukan hanya persoalan perseorangan saja. Kejadian ini harus dilihat sebagai bagian dari permasalahan serius yang sudah melembaga di Polri, kata Fadhil dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 22 Desember 2024.

Dia merujuk pada Polri yang bertugas melindungi dan mengayomi warga negara. Menurut dia, situasi tersebut terkait dengan minimnya kemauan politik penguasa untuk mereformasi Polri secara tuntas.

Baca juga:

Postingan digital informasi kecelakaan secara online akan dibuat pada saat libur Natal dan Tahun Baru

Akibatnya, Polri semakin melampaui amanah konstitusi sebagai lembaga publik yang bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, kata Fadhil.

Foto seorang petugas polisi.

Ia mengatakan, ada dugaan tes urine sewenang-wenang yang dilakukan DWP usai pementasan tahun 2024 juga berujung pada pelanggaran HAM penonton.

Padahal, sesuai aturan, tes urine hanya bisa dilakukan dalam kerangka aparat penegak hukum, khususnya di bidang penyidikan. Artinya, kata dia, polisi tidak bisa memaksakan tes urin sembarangan tanpa memastikan proses di wilayah penyidikan berjalan.

“Urinalisis dan pemerasan terhadap pengunjung dalam hal ini merupakan pelanggaran HAM. Polisi sebagai pejabat publik secara terang-terangan melanggar hak privasi dan keamanan pribadi pengunjung yang dijamin oleh Pasal 9 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. , ” katanya. dikatakan.

Selain itu, ia terkejut dengan pernyataan Polri yang menyebutkan oknum polisi yang diduga melakukan pemerasan. Dia meminta klarifikasi proses pidana terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana tersebut.

Ketiga, meski sudah dikeluarkan keterangan terkait penyidikan terhadap 18 pegawai yang diduga melakukan konspirasi kriminal, namun hal tersebut masih belum cukup. Karena belum adanya kejelasan mengenai proses hukum di bidang pidana terhadap pelaku kejahatan, kata Fadil.

Selain itu, LBH Jakarta juga menyayangkan tidak adanya transparansi mengenai identitas dan jabatan anggota kepolisian. Baginya, cara-cara yang dilakukan Polri merupakan standar ganda dibandingkan pekerjaan orang lain selain polisi.

LBH Jakarta, kata Fadhil, meminta Kapolri Jenderal Listo Sigit meminta maaf kepada korban. Ia meminta Kapolri Listo Sigit mengakui kejadian tersebut sebagai masalah institusional dan sistemik Polri.

Ia pun mendesak Kapolri segera membuka dan menyelesaikan kasus ini secara komprehensif dan transparan. Selain itu, mengambil tindakan tegas terhadap penjahat tidak hanya terbatas pada penjahat tingkat lapangan.

Ada postingan di akun X sebelumnya @Twt_Ravemendakwa sejumlah petugas polisi dengan menangkap tersangka. Orang-orang ini diduga memeras penonton asal Malaysia.

Akun tersebut menyebutkan polisi Indonesia menangkap lebih dari 400 penonton asal Malaysia dan melakukan tes urin mendadak.

Petugas polisi juga diduga memeras RM9 juta atau setara Rp32 miliar dari mereka. Bahkan, ada dugaan penonton terpaksa membayar meski hasil tes urinnya negatif.” tulis akun tersebut.

Halaman berikutnya

Ia mengatakan, ada dugaan tes urine sewenang-wenang yang dilakukan DWP usai pementasan tahun 2024 juga berujung pada pelanggaran HAM penonton.

Halaman berikutnya



Sumber