Sosiolog UI Sebut Foto Yos Suprapto Tak Langgar Moralitas dan Terkait Masalah Pangan

Minggu, 22 Desember 2024 – 19:53 WIB

Jakarta – Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola mengkritisi tanggapan Galeri Nasional Indonesia terhadap pembatalan pameran tunggal Yos Suprapto Kebangkitan: Tanah Kedaulatan Pangan yang sedianya dibuka pada Kamis, 19 Desember 2024.

Baca juga:

Yos Suprapto blak-blakan soal pelarangan pameran seni rupa “Konoha”.

Menurut Tamrin, citra Joko Widodo (Jokowi), presiden ketujuh RI, tidak etis dan masih relevan dengan persoalan pangan.

“Kalau saya lihat lukisan-lukisan yang ada karya Yos Suprapto, menimbulkan pertanyaan tentang moralitas negara yang paling mendasar dan khususnya kepada Jokowi, sehingga terjadi hal seperti ini. Jadi ada lukisan yang mengkritisi praktik Kekuatan Yos. Menurut saya, itu benar sekali, patut dikritisi,” kata Tamrin, Minggu, 22 Desember, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, dalam acara “Seni Sebagai Alat Kritik.” 2024 tahun.

Baca juga:

Jelajahi berbagai figur manusia yang mungkin ada pada Gambar A

Pameran Seni Yos Suprapto dan Konoha

Menurut Thamrin, permasalahan kekurangan pangan yang terjadi saat ini terkait dengan praktik aparat yang digugat Yos.

Baca juga:

Seniman asal Jepang ini menciptakan dunia mini 360 derajat di atas kanvas bundar

“Kita semua tahu, khususnya dalam masalah pertanahan, restorasi lahan untuk ketahanan pangan, kita semua tahu bahwa pada kenyataannya ketahanan pangan di republik ini tidak terwujud atau sulit tercapai karena lemahnya komitmen pemerintah. mengimpor barang dari luar, mengimpor beras, kita lihat dari beragamnya barang yang tersedia,” ujarnya.

“Dan itu semua impor. Jadi tidak ada dukungan kedaulatan. Karena tidak ada komitmen politik dari pemerintah,” kata Tamrin.

Thamrin mengatakan, Yos melihat adanya fenomena kedaulatan yang menyangkut ketahanan pangan dan kekuasaan negara tidak bisa terwujud karena permasalahan negara itu sendiri.

Tamrin pun mengkritisi penilaian kurator tersebut dengan mengatakan sebenarnya ada dua lukisan yang layak disebut terkutuk.

“Kalau saya ingat apa yang dilakukan melanggar etika ketatanegaraan, maka banyak pejabat yang tersandera dosanya. Hal itu pernah digunakan Jokowi saat masih menjadi presiden. Jadi, kalau ada pejabat yang tidak menindak lanjuti, katanya, ya saya harus peluit ke polisi, saya harus peluit ke Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Bisakah presiden melakukannya? Dosa-dosa orang-orang tersebut dijadikan alat penindasan. “Nah, tekanan seperti itu adalah cara yang sangat sadis secara politik,” jelasnya.

Pembicara lain yang turut serta dalam diskusi ini yakni Bonny Triyana, Anggota Komisi X DPR RI, Osman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, Kritikus Seni Bambang Budjono.

Halaman berikutnya

Thamrin mengatakan, Yos melihat adanya fenomena kedaulatan yang menyangkut ketahanan pangan dan kekuasaan negara tidak bisa terwujud karena permasalahan negara itu sendiri.

Halaman berikutnya



Sumber