Sayangnya, 85% pasien dialisis berada dalam rentang usia efektif

Senin, 23 Desember 2024 – 15:31 WIB

Jakarta – Berdasarkan data BPJS Kesehatan, cuci darah merupakan indikator biaya terbesar keempat dalam belanja BPJS, dengan pengeluaran sebesar Rp 2,9 triliun pada tahun 2023.

Baca juga:

Mendukung akses terhadap perawatan ginjal kronis, pendistribusian mesin hemodialisis akan segera menjangkau seluruh Indonesia

Fakta lainnya adalah 85% pasien cuci darah berada pada usia kerja, dan kegagalan dalam merawat pasien gagal ginjal mempunyai dampak sosial ekonomi yang tinggi. kualitas kehidupandia. Yuk scroll untuk mengetahui detail selengkapnya!

Direktur Global PT Forsta Kalmedic Yvone Astri Della Sianggaran menjelaskan, hemodialisis atau cuci darah merupakan prosedur rutin seumur hidup yang dilakukan 2-3 kali seminggu oleh pasien gagal ginjal kronik alias gagal ginjal stadium 5 (Penyakit Ginjal Stadium Akhir). . sangat rendah atau kurang dari 15 persen.

Baca juga:

Kondisi terkini Abdi Slank yang sudah sebulan lebih dirawat di rumah sakit

“Ini adalah prosedur yang menggunakan mesin dialisis dan dialiser untuk membersihkan darah. “Dokter menciptakan akses ke pembuluh darah, biasanya melalui operasi tangan kecil, untuk mengarahkan darah ke dialyzer yang berfungsi sebagai ginjal buatan,” kata Yvone pada pertemuan media baru-baru ini di Kalbe Business Innovation Center di Jakarta Timur.

Baca juga:

Diabetes pada anak-anak meningkat, dokter menemukan camilan ini mungkin menjadi penyebab obesitas dan gagal ginjal

Dialyzer sendiri merupakan salah satu bahan habis pakai yang penting untuk hemodialisis atau cuci darah. 99% pasien cuci darah dilindungi oleh BPJS dan kebutuhan hemodialisis di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya.

Dari 267 juta penduduk Indonesia, 1,5 juta diantaranya adalah penderita gagal ginjal kronik, dan 159.000 orang menjalani cuci darah. Oleh karena itu, perlu disediakan peralatan dialyzer yang berkualitas.

Dengan tersedianya produk dialyzer lokal, berarti dana BPJS tidak hanya digunakan untuk mengakses layanan kesehatan bagi pasien gagal ginjal, tetapi juga untuk mendukung industri peralatan medis lokal dan mengelola perekonomian dalam negeri

Selain itu, dialyzer produksi lokal akan membantu memudahkan dan memperluas akses ke wilayah-wilayah di Indonesia.

“Produksi dialyzer lokal menghilangkan bea masuk dan biaya pengiriman internasional, sehingga membuat harga lebih terjangkau dan biaya perawatan hemodialisis lebih terjangkau bagi pasien dan fasilitas kesehatan. “Selanjutnya, produksi dialyzer lokal mengurangi ketergantungan impor, memastikan ketersediaan produk, menghindari gangguan rantai pasokan global dan mengurangi dampak fluktuasi nilai tukar,” jelas Yvone.

Dialyzer RenaCare diproduksi secara lokal menggunakan komponen lokal, dengan perkiraan tingkat komponen lokal (LCD) lebih dari 40 persen.

Kartika Setiabudy, Direktur PT Kalbe Farma Tbk, mengatakan penyediaan kapasitas produksi RenaCare Dialyzer lokal oleh Kalbe melalui Forsta bertujuan untuk meningkatkan akses kesehatan masyarakat, khususnya untuk membantu penyakit ginjal di Indonesia.

“Forsta telah berhasil membangun pabrik pembuatan Dialyzer, sehingga menjadikan Forsta sebagai perusahaan pertama di Indonesia dan perusahaan kedua di ASEAN yang memiliki pabrik pembuatan dialyzer. Dialyzer telah mendapatkan sertifikasi CPAKB (Cara Membuat Alat Kesehatan yang Lebih Baik) dari Kementerian Kesehatan. )”, jelasnya.

Halaman selanjutnya

Dengan tersedianya produk dialyzer lokal, berarti dana BPJS tidak hanya digunakan untuk mengakses layanan kesehatan bagi pasien gagal ginjal, tetapi juga untuk mendukung industri peralatan medis lokal dan mengelola perekonomian dalam negeri

Halaman selanjutnya



Sumber