DPR: Kasus Dugaan Penonton DWP Asal Malaysia Dituntut Momentum Polisi untuk Bersih Polri

Jakarta, VIVA- Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta mengatakan pemerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap penonton acara Djakarta Warehouse Project (DWP) bisa menurunkan citra pemerintah di penghujung tahun 2024. Ini karena DWP. Jaya yang diduga menjadi korban pemerasan yang dilakukan anggota Polda Metro sebagian besar merupakan warga negara asing (WNA), termasuk warga Malaysia.

Baca juga:

Demokrat menyebut penolakan PDIP terhadap PPN 12% hanya bersifat politis

“Tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap dunia penegakan hukum menurun bahkan terpuruk. Hal ini tentunya akan berdampak nyata terhadap citra pemerintah, keamanan, dan stabilitas hukum, serta sektor lainnya, kata Wayan dalam keterangannya, Selasa, 24 Desember 2024.

Proyek Gudang Djakarta (DWP).

Baca juga:

Propam Polri: 45 warga Malaysia jadi korban pemerasan polisi saat diawasi DWP, tapi bisa bangkit

Permasalahan yang muncul pada kerja DWP pada pertengahan Desember 2024 ini, kata Wayan, dinilai sejumlah pihak tidak hanya merugikan nama baik Polri, namun juga mencoreng nama baik pemerintah dan bangsa sebagai lembaga penegak hukum. utuh. Sebab, lanjutnya, perbuatan 18 polisi terhadap warga negara Malaysia merupakan hal yang sangat memalukan bagi Indonesia yang mengklaim sebagai negara hukum dan beradab.

“Misalnya, sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang paling terdampak. “Kelihatannya sepele, tapi tingkat kepercayaan internasional terhadap penegakan hukum di Indonesia yang penuh citra buruk terus menurun,” kata anggota Fraksi PDIP ini.

Baca juga:

Bantah adanya politisasi, KPK menegaskan status tersangka Hasto murni penegakan hukum

Menurut dia, jejaring sosial menjadi bukti nyata menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi Polri atau masyarakat meragukan keseriusan reformasi Kapolri. , Jenderal Listo Sigit Prabowo. memulihkan kepercayaan diri dan masyarakat.

Dalam kasus-kasus sebelumnya atau kasus-kasus yang menimbulkan kegaduhan, seperti slogan “No virus, no justice” atau kekerasan yang dilakukan oknum aparat, sepertinya tidak ada upaya nyata untuk mengubah Polri. Ia menilai janji dan arahan Kapolri kepada aparatnya hanya sekedar gimmick atau isyarat kosong untuk mengalihkan perhatian dan kemarahan masyarakat untuk sementara waktu.

Motto Polri, Kejelasan yang berarti ‘Berjuang untuk Unggul’, dan kapabilitas Polri yang semakin meningkat menjadi bahan candaan dan candaan di media sosial, jelasnya.

Wayan mengatakan, hadirin DWP harusnya sangat prihatin dengan kasus pungli ini, apalagi ini mencerminkan kegagalan Polri dalam mengawasi jajarannya sendiri. Padahal, kata dia, jika ditilik, permasalahan seperti ini bukanlah hal yang baru. Menurutnya, dugaan pungutan liar atau pungutan liar sebenarnya sudah menjadi rahasia umum saat menangani perkara di Polri.

“Dalam kasus Polri, pungutan liar atau pungutan liar sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Biaya diperlukan untuk memenuhi keinginan para pihak yang disebut dengan upeti atau mahar. Harus diakui, hal itu sudah tersebar luas dan diketahui masyarakat, khususnya terlibat dalam mafia hukum.

Memang benar, permasalahan yang dihadapi ekspatriat Malaysia sering kali hanya bersifat lokal. Misalnya, Komisi III DPR RI mengidentifikasi permasalahan dalam pemrosesan kasus terkait narkoba. Penyalahguna atau pengguna narkoba malah terseret ke dalam proses hukum, yang berujung pada penahanan dan kepadatan lembaga pemasyarakatan.

“Menyelidiki dan mengusut yang juga diduga akibat penyalahgunaan atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan petugas penyidik. Apabila yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya yang telah ditetapkan (pemerasan), maka tersangka dapat dibawa ke aparat penegak hukum. Sebaliknya jika ada biaya tertentu, maka dilanjutkan saja atau bahkan dihentikan pekerjaannya. “Hal inilah yang menyebabkan maraknya mafia hukum,” ujarnya.

Dalam kasus DWP, Wayan mengatakan, isu yang viral itu seolah membenarkan dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparat penegak hukum kepolisian. Bahkan, 18 petugas Polri diduga menggunakan tes urine untuk mengintimidasi 400 penonton yang merupakan warga asing Malaysia sehingga harus membayar setara 9 juta Ringgit atau Rp 32 miliar agar tidak diproses oleh penegak hukum.

“Parahnya ada penonton yang hasil urinalisisnya negatif tapi tetap harus membayar sejumlah uang.” Belakangan diketahui di media sosial dan ternyata korbannya tidak hanya satu. Apa jadinya negara ini jika aparat penegak hukumnya melanggar hukum, terutama dalam menjalankan fungsi penegakan hukum? Paradoks ini sangat mempermalukan citra lembaga penegak hukum yang seharusnya adil dan dapat diandalkan. Refleksi ini akan terus mencoreng nama baik seluruh anggota Polry, termasuk mereka yang telah bekerja secara profesional, kata Wayan.

Saat ini, Wayan mengatakan, pengaduan dari DWP dan korban sudah diterima dan ditindaklanjuti oleh Polda Metro Jaya dan Unit Propam Polri. Tentu saja, kata dia, masyarakat mengharapkan polisi menindak tegas 18 anggota DWP yang diduga melakukan pemerasan terhadap penonton.

“Tentunya masyarakat mengharapkan kejelasan dan ketegasan dari pihak kepolisian dalam mengambil tindakan pidana dan etik. “18 petugas polisi diinterogasi dan ditangkap.

Melihat fenomena tersebut, Wayan mengatakan keinginan untuk mengubah dan memajukan Institut Kepolisian Negara kembali tergaung. Selain itu, kata dia, selama tahun 2024 terjadi penembakan oleh polisi (baik terhadap polisi maupun warga sipil), dukungan Polri dalam penambangan liar, keterlibatan aparat Polri dalam peredaran narkoba ilegal dan kegiatan kriminal lainnya, hingga berbagai kasus seperti kematian. Penangkapan dan berbagai permasalahan lainnya, termasuk represi dan arogansi anggota Polri akan menjadi pengingat di penghujung tahun 2024.

“Catatan ini tentu menyerukan agar Polri segera direformasi. Permasalahan yang muncul di tubuh Polri tidak boleh diabaikan. Jangan dibiarkan begitu saja karena akan menjadi preseden buruk bagi citra Polri di masyarakat, imbuhnya.

Ia mengatakan, jika ingin menjaga citra baik dan bersih pemerintah harus menghadapi sederet catatan buruk dalam beberapa bulan terakhir. Menurut dia, Pemerintah dan Polri harus berupaya meningkatkan transparansi dan profesionalisme secara terbuka dan responsif. Tata kelola organisasi dan sumber daya manusia Polri harus dibenahi sehingga mampu menciptakan sistem yang dapat meningkatkan transparansi dan profesionalisme Polri.

“Reformasi ini harus mencakup setidaknya beberapa bidang, mulai dari perekrutan, manajemen pembentukan lapangan kerja dan pengisian hingga pengawasan. Yang paling penting untuk diperbaiki saat ini adalah pengendalian. Berbagai peraturan Polri atau peraturan kepolisian yang mengatur wilayah penertiban hendaknya tidak hanya sekedar peraturan penegakan hukum, namun juga peraturan preventif. Saat ini, sektor Propam hanya merespons pelanggaran yang terjadi. Padahal, Propam mungkin sudah bekerja pada saat anggotanya bekerja. “Sistem pemantauannya terpasang,” jelasnya.

Menurutnya, pembersihan ini harus dilakukan dengan kesadaran kolektif Polri untuk mengakui kelemahan yang ada secara terbuka dan menyikapinya dengan penuh ketegasan. Respons ini diharapkan dapat meningkatkan pengawasan, kesadaran, dan kepatuhan hukum seluruh anggota Polri secara signifikan. Yang terpenting, kata dia, bagaimana Polry berupaya bersikap terbuka dan bertransformasi dari budaya arogansi, kekerasan, korupsi, dan manipulasi.

“Kita semua sepakat bahwa reformasi Polri dan sistem kepemimpinannya kini menjadi isu mendesak dalam upaya menjaga nama baik pemerintah dan sektor penegakan hukum di Indonesia. Penyelamatan Institusi Polri harus dilakukan dengan cepat, tegas dan hati-hati Memang perlu; walaupun sangat pahit, namun demikian, “Obat yang rasanya pahit tetap harus diberikan untuk menyembuhkan penyakitnya,” kata Wayan.

Ia menambahkan, jika Polri tidak dapat menjalankan tugasnya secara profesional, bertanggung jawab, dan jujur, maka hal tersebut akan berdampak besar bagi pemerintah Indonesia di mata dunia internasional. Sebaliknya, jika Polri bersih maka integritas sistem pemerintahan dan kredibilitasnya akan meningkat. Menurutnya, kredibilitas dan kualitas lembaga penegak hukum atau sistem hukum tentunya menjadi indikator utama dalam mengukur keberhasilan supremasi hukum dan pemerintahan.

“Saat ini kita sangat berharap kepada pemerintah dan tentunya Polri untuk serius membenahi sektor hukum sehingga kita dapat mewujudkan negara yang aman, adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan cita-cita dan tujuan bangsa dan negara. – dia menyimpulkan.

Halaman selanjutnya

Motto Polri, Kejelasan yang berarti ‘Berjuang untuk Unggul’, dan kapabilitas Polri yang semakin meningkat menjadi bahan candaan dan candaan di media sosial, jelasnya.

Halaman selanjutnya



Sumber