Selasa, 24 Desember 2024 – 20:22 WIB
Jakarta – Putusan hakim perkara timah Bangka Belitung disampaikan pada Senin, 23 Desember 2024. Putusan ini seolah menegaskan bahwa industri pertambangan timah merusak alam dan menjadi sumber kerusakan lingkungan.
Baca juga:
China Eksekusi Koruptor Terbesar Sepanjang Sejarah Li Jianping Rp 6,7 Triliun, Netizen Gelisah Kasus Harvey Moeis
Menurut Fahmi Radhi, Pengamat Energi dan Ekonomi Energi Universitas Gadja Mada (UGM), wajar jika industri pertambangan merusak lingkungan, namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memulihkan kondisi alam, termasuk di masa depan. bentuk reklamasi lahan.
“Saya kira di mana pun termasuk Indonesia, baik pertambangan legal maupun ilegal, prosesnya akan merusak lingkungan, itu sudah pasti. Jadi, ketika mengeluarkan izin IUP (izin usaha pertambangan), kewajiban mengganti kerugian lingkungan hidup adalah kewajiban. , atau yang disebut reklamasi,” kata Fahmy, Selasa 24 Desember 2024.
Baca juga:
Prabowo Subianto Ingin Maafkan Koruptor, Menteri Hukum: Bukan berarti penjahat bisa bebas
Oleh karena itu, setiap kali suatu tambang ditambang, wajar jika terjadi kerusakan lingkungan. Namun harus dilihat dari sisi lain, dimana negara juga mendapat banyak pemasukan dari kegiatan tersebut, termasuk dari kegiatan perekonomian masyarakat yang berada di dalamnya. Peran pengusaha di sini adalah terus memulihkan kondisi alam agar tetap bisa bertahan.
Baca juga:
Pernyataan tersebut disampaikan kuasa hukum dan jaksa setelah Harvey Moeis divonis 5-8 tahun penjara.
“Tambang dimanapun itu, pasti akan merugikan lingkungan, baik itu timah, batu bara, nikel, karena itu industri ekstraktif ya, industri ekstraktif pasti akan merugikan lingkungan. Tapi kerusakan alam ini bisa dibalik, tapi butuh biaya,” kata Fakhmi.
Pengusaha pertambangan tidak boleh dimintai pertanggungjawaban pidana sepanjang penambang melakukan pekerjaan perbaikan berupa reklamasi dan mengikuti prosedur lain.
“Begini, kalau penambang melakukannya secara legal, barulah dilakukan reklamasi, kalau biaya reklamasi mereka tanggung, mereka tidak perlu khawatir, dan tentunya tetap mendapat untung, karena keuntungan dari penambangan itu besar sekali, kalau Hanya saja biaya reklamasinya bisa dikurangkan, menurut saya tidak masalah,” kata Fahmy.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis 3 terpidana kasus Babil timah. Harvey Moeis divonis 6 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp1 miliar. Harvey juga diperintahkan membayar ganti rugi sebesar Rp 210 miliar.
Kemudian sejak tahun 2018, Suparta, CEO PT RBT, divonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, sedangkan anak perusahaannya divonis 6 bulan penjara. Ia juga divonis hukuman tambahan berupa kewajiban membayar ganti rugi sebesar 4,5 triliun rubel, dirampas kebebasannya selama 6 tahun.
Direktur Pengembangan Bisnis PT Refined Bangka Tin (RBT) Reza Andriansyah divonis 5 tahun penjara dan denda Rp750 juta, sedangkan anak perusahaannya divonis 3 bulan penjara.
Halaman selanjutnya
“Begini, kalau penambang melakukannya secara legal, barulah dilakukan reklamasi, kalau biaya reklamasi mereka tanggung, mereka tidak perlu khawatir, dan tentunya tetap mendapat untung, karena keuntungan dari penambangan itu besar sekali, kalau Hanya saja biaya reklamasinya bisa dikurangkan, menurut saya tidak masalah,” kata Fahmy.