Girik tidak lagi menyebut Petuk jika…

Rabu, 1 Januari 2025 – 00:02 WIB

Jakarta — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengatakan meski seluruh bidang tanah di Indonesia sudah dipetakan, namun dokumen tanah lama seperti girik dan petuk sudah tidak berlaku lagi.

Baca juga:

Kementerian ATR/BPN mencatat sekitar 6 ribu kasus konflik pertanahan sepanjang tahun 2024

Menurutnya, proses digitalisasi informasi pertanahan akan mengakhiri era girik dan memperkuat kepastian hukum kepemilikan tanah.

“Jika wilayahnya sudah dipetakan secara lengkap, seluruh bidang tanah sudah bersertifikat, maka girik tidak otomatis diterapkan. Jika tidak ditemukan cacat administratif atau hukum dalam proses penerbitan sertifikat. “Dalam hal demikian, pemilik tanah lama harus membuktikan klaimnya melalui dokumen otentik,” kata Nusron dalam media briefing yang digelar di Kementerian ATR/BPN, Jakarta Selatan, Selasa, 31 Desember 2024.

Baca juga:

DPR menyebut sejumlah BUMN karena sering terjadi sengketa lahan dengan masyarakat

Menteri ATR/BPN Nusran Wahid

Proses ini dipandang oleh pemerintah sebagai langkah penting menuju penciptaan sistem pertanahan yang lebih transparan dan bebas konflik.

Baca juga:

Mantan pejabat Kabupaten Cihampelas yang terjangkit virus itu memalsukan ribuan dokumen jual beli tanah dan meraup untung lebih Rp 5 miliar.

Hingga saat ini, telah terdaftar 120,9 juta bidang tanah dari total 126 juta bidang tanah yang tersebar di seluruh Indonesia. Kementerian ATR/BPN optimis seluruh bidang tanah dapat didaftarkan seluruhnya pada tahun 2025.

Asnaedi, Direktur Jenderal Pendaftaran dan Pendaftaran Hak Atas Tanah (Dirjen PHPT), menambahkan, girik sebenarnya hanya berfungsi sebagai bukti pajak tanah dan sudah tidak relevan lagi sebagai bukti kepemilikan. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, semua hak atas tanah yang lama harus didaftarkan.

“Girik dan surat-surat tanah yang sejenis itu tidak boleh digunakan karena jangka waktu pendaftaran hak yang lama telah habis berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1982. Namun kenyataannya, girik kerap menjadi sumber konflik karena tidak jelas legitimasinya, kata Asnaedi.

Ia juga menyoroti fenomena “girik palsu” yang banyak terjadi di berbagai daerah, seperti girik ilegal dari Majestic dan Jatinegara.

Hal ini mempersulit penyelesaian konflik di sini. Oleh karena itu, pemberantasan hyrik dipandang sebagai solusi untuk mengurangi kemungkinan terjadinya sengketa pertanahan.

Langkah pemerintah menyelesaikan sertifikasi tanah juga akan diperkuat dengan penerapan PP Nomor 18 Tahun 2021. Pasal 96 menyebutkan, bukti tertulis atas tanah adat lama seperti girik, petuk, atau huruf C harus didaftarkan paling lama lima periode. tahun sejak tanggal berlakunya peraturan ini. Jika jangka waktu tersebut terlampaui, maka dokumen-dokumen tersebut tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan.

Proses sertifikasi yang komprehensif ini tidak hanya memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, namun juga mendukung upaya pemerintah mencegah praktik spekulatif dan mafia tanah yang kerap mengeksploitasi kelemahan dokumen lama.

Mendekati target pendaftaran tanah secara penuh pada tahun 2025, Kementerian ATR/BPN berharap transformasi tersebut akan menciptakan sistem pertanahan yang lebih modern, efisien dan akuntabel.

Sertifikat tanah elektronik berbasis data digital diharapkan dapat menggantikan seluruh dokumen lama yang rawan pemalsuan.

Kami juga berharap kepastian hukum kepemilikan tanah akan mendorong lingkungan investasi dan pembangunan yang baik di Indonesia.

“Kita tidak hanya berbicara tentang pemberantasan perompakan, tetapi juga tentang penciptaan keadilan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat melalui reformasi sistem pertanahan,” tutup Nusran Wahid.

Halaman selanjutnya

“Girik dan surat-surat tanah yang sejenis itu tidak boleh digunakan karena jangka waktu pendaftaran hak yang lama telah habis berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1982. Namun kenyataannya, girik kerap menjadi sumber konflik karena tidak jelas legitimasinya, kata Asnaedi.

Halaman selanjutnya



Sumber