Naik turunnya aturan Presidential cap 20% yang akhirnya disetujui MA setelah puluhan penolakan

Jakarta – Pada Kamis, 2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menyetujui uji materi batas pencalonan presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 “Tentang Pemilu”.

Baca juga:

MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Kata Iqbal: Buruh Pabrik Bisa Mencalonkan Presiden Tanpa Harus Berkoalisi

Dengan dihilangkannya ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen, maka terbuka peluang bagi masing-masing partai politik untuk mencalonkan pasangannya sendiri (capres-cawapres) sebagai presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2029.

Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat, menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Baca juga:

Bagi Golkar, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas presiden 20 persen merupakan hal yang mengejutkan.

Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden hanya dicalonkan oleh partai politik yang memiliki minimal 20 persen suara DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

“Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bukan hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, logika dan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir serta jelas bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi ada alasan yang kuat dan mendasar untuk itu Mahkamah terpaksa mengubah pendiriannya pada putusan-putusan sebelumnya,” kata Saldi Isra di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.

Baca juga:

Menurut PAN, penghapusan ambang batas presiden 20 persen sejalan dengan perjuangan partai.

“Perubahan posisi tersebut tidak hanya menyangkut besaran ambang batas atau indikator persentasenya saja, namun yang lebih penting lagi adalah rezim ambang batas (presidential treshold) bagi pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berapapun besaran atau indikator persentasenya. bertentangan. Sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, kata Saldi Isra.

Meskipun tuntutan batas pencalonan presiden telah beberapa kali diajukan uji materi, antara lain:

2018

Sejumlah akademisi dan aktivis menggugat klausul Presidential Threshold 20 persen dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi (CCC).

Mereka menilai ketentuan ini membatasi hak partai politik untuk mengajukan calon presiden. Namun Mahkamah Konstitusi menolak tuntutan tersebut.

Gugatan tersebut diajukan oleh 12 ahli dari berbagai negara. Mereka ingin aturan ambang batasnya 0%, artinya semua partai politik bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden, meski mereka tidak punya kursi di DPRK.

Gugatan sendiri diajukan 12 orang, yakni Busyro Muqoddas (mantan Ketua KPK dan Ketua KY), Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan), Faisal Basri (ekonom), Hadar N. Gumay (mantan Ketua KPU). ), Bambang Widjojanto (mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi), Rocky Gerung (akademis), Robertus Robet (akademisi), Feri Amsari (Direktur Universitas Andalas, Pusako).

tahun 2021

Gugatan serupa juga diajukan oleh beberapa politisi dan partai politik lain yang merasa risih dengan batasan ambang batas presiden sebesar 20 persen.

Mereka berpendapat bahwa batasan tersebut tidak demokratis dan membatasi pilihan masyarakat. Namun Mahkamah Konstitusi kembali menolak tuntutan tersebut.

Secara khusus, Jenderal Gatot Nurmantyo, Panglima TNI periode 2015-2017, juga melayangkan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 222 Tahun 2017 Nomor 7 tentang Pemilihan Umum.

Menurut mantan Panglima TNI itu, pasal yang mengatur batasan pencalonan presiden bertentangan dengan UUD 1945.

2022

Kemudian pada tahun 2022, pasal tersebut kembali diuji di Mahkamah Konstitusi, terhitung tanggal 10 Januari 2022, kelompok pengacara di ambang Presidensi untuk revisi Pasal 222 Tahun 7 Tahun 2017 mengajukan kasasi ke Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, permohonan pengujian Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Nomor 7 Tahun 2017 yang diajukan Anggota DPD RI Bustami Zainudin dan Fachrul Razi akhirnya ditolak Mahkamah Konstitusi (CJ).

Para pemohon menguji Pasal 222 UU Pemilu, yang menetapkan ambang batas bagi seorang calon presiden untuk memperoleh sedikitnya 20 persen dari jumlah kursi parlemen di Kongo, atau 25 persen dari suara sah yang diperoleh dalam pemilihan anggota nasional Kongo.

“Umumkan putusan hakim, nyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Sidang Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan Nomor 68/PUU-XIX/2021 pada Kamis, 24 Februari. 2022. pada sidang pengadilan. Situs resmi MK.

tahun 2023

Pada Februari 2023, Mahkamah Konstitusi (CJ) kembali menolak uji substantif terhadap ketentuan batas pencalonan presiden yang terdapat dalam Pemilihan Umum (UU Pemilu) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Putusan Nomor 4/PUU-XXI/2023 tersebut disampaikan oleh Herifuddin Daulay yang berprofesi sebagai guru honorer, pada Selasa, 28 Februari 2023, di Ruang Sidang Pleno MK.

“Kami mengumumkan penolakan seluruhnya terhadap permohonan pemohon” didampingi Ketua MK Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi lainnya, demikian dikutip dari situs resmi MK.

Hakim Konstitusi Saldi Isra saat mengkaji alasan hukum Mahkamah berpendapat, persoalan konstitusional yang diajukan permohonan para pemohon tidak jauh berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, dan Mahkamah pun tidak melakukan hal yang sama. atau tidak. tidak mempunyai alasan sah yang kuat untuk mengubah pendiriannya.

“Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum dalam putusan a quo. Artinya Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 I UU/2017 adalah konstitusional, kata Saldi.

tahun 2024

Universitas Gadja Mada Arizona, seorang profesor hukum, mengajukan uji materi batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Mengutip situs resmi Komite Sentral Republik Kazakhstan, Yane mengatakan, terkait ambang batas pencalonan presiden, norma ambang batasnya adalah 20 persen dari jumlah kursi atau 25 persen suara sah calon presiden dan wakil presiden. juga dianggap tidak masuk akal. metode dan bukti.

Pada titik ini, timbul pertanyaan mengenai dasar apa yang dapat digunakan oleh peraturan-peraturan tersebut untuk membangun sistem presidensial yang efektif.

Senada dengan itu, ada dua partai politik yang turut serta menjadi informan, yakni Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Keduanya menilai batasan presiden tidak sesuai dengan UUD 1945



Sumber