Sabtu, 4 Januari 2025 – 00:04 WIB
Yogyakarta, VIVA – Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN) Syariah dan Hukum Yogyakarta, yakni Enika Maya Octavia, Faisal Nasirul Haq, Rizki Maulana Syafei, dan Tsalis Khoyrul Fatna menggugat Presidential Threshold 20 persen. Konstitusi (MK) Presiden dan Wakil Presiden.
Baca juga:
MK memberikan kesempatan kepada partai untuk mengusung calon presidennya, namun PAN tetap menganggap Prabowo yang terbaik
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (CC) memenangkan perkara tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025.
Salah satu mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang menggugat, yakni Enika Maya Octavia mengaku mengajukan permohonan uji materiil Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 hanya bersama rekannya. Enika mengatakan, tidak ada campur tangan pihak manapun dalam gugatannya yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga:
Menurut pakar hukum, ambang batas kursi kepresidenan telah mengecualikan calon-calon potensial
“Kami tidak menerima campur tangan organisasi, lembaga, atau partai politik lain. Yang kami lakukan hanyalah perjuangan akademis dan perjuangan perlindungan konstitusi,” kata Enika UIN Sunan Kalija, Yogyakarta, Jumat, 3 Januari 2025.
Baca juga:
DPRK khawatir jumlah calon presiden terlalu banyak karena Komite Sentral menghapuskan batasan presiden.
Enika mengatakan kepada Mahkamah Konstitusi, aksi uji materiil tersebut merupakan proses panjang yang dilakukan bersama teman-temannya. Sebelum mengajukan gugatan, Enika dan rekan-rekannya tergabung dalam komunitas Constitutional Watch.
Komunitas ini merupakan organisasi resmi UIN Sunan Kalijaga. Pada tahun 2023, Enika bersama rekan-rekannya mengikuti kompetisi antar universitas yang diselenggarakan oleh Bawaslu RI. Salah satu pembahasannya terkait Sistem Limit Presidensial.
Dari perdebatan tersebut, kata Erika, terkumpul materi dan penelitian terkait ambang batas Kepresidenan. Berbekal materi tersebut dan putusan MK 90, Erika dan tim kemudian menyiapkan materi perkara ke Mahkamah Konstitusi.
“Gugatannya telah diajukan pada Februari 2024. Proses ini memakan waktu hampir satu tahun hingga keputusan akhir diambil oleh MK. Dalam proses ini, kami melalui 7 gugatan,” jelas Erika.
Dalam argumentasinya, Enika dan kawan-kawan menilai sebagai pemilih, masyarakat lebih diposisikan sebagai objek pelaksanaan demokrasi. Padahal, masyarakat seharusnya menjadi subjek pelaksanaan demokrasi.
Kami mencoba mengajukan dan berargumen. Kami bukan objek demokrasi, tapi subjek demokrasi. Dengan demikian, posisi hukum kami diterima, jelas Enika.
Enika menambahkan, dirinya sengaja menggugat Mahkamah Konstitusi usai Pilpres 2024 untuk menghindari tekanan politik dalam prosesnya.
“Semakin dekat pemilu presiden, tekanan-tekanan politiknya akan semakin mendesak. Kami ingin kajian-kajian yang dilakukan MK tidak menjadi preseden atau memberikan pengaruh politik yang buruk. Kajian-kajian tersebut benar-benar kajian akademis. Memang benar adanya. tidak memiliki muatan hukum. ‘studi dan ini dibuktikan oleh Erika.
Halaman berikutnya
Dari perdebatan tersebut, kata Erika, terkumpul materi dan penelitian terkait ambang batas Kepresidenan. Berbekal materi tersebut dan putusan MK 90, Erika dan tim kemudian menyiapkan materi perkara ke Mahkamah Konstitusi.