Jumat, 3 Januari 2025 – 15.40 WIB
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi telah menyetujui pengendalian peradilan atas ambang batas presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 “Tentang Pemilu”.
Baca juga:
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengakuan orang-orang yang tidak beragama dalam badan pengelolaan kependudukan
Putusan ini diumumkan pada Kamis, 2 Januari 2025 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Dengan penghapusan ambang batas 20 persen, setiap partai politik kini dapat mencalonkan calon presiden dan wakil presiden tanpa memerlukan persentase kursi atau suara nasional aktual di DPRK.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Baca juga:
Tanggapan Jokowi terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus batasan Presiden
“Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bukan hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, logika dan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir serta jelas bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi ada alasan yang kuat dan mendasar untuk itu Mahkamah harus berubah dari pendiriannya pada putusan-putusan sebelumnya,” kata Saldi Isra di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2025. Kamis, 2 Januari, VIVA.co.id.
Farhan A Dalimunte, Direktur Eksekutif Nalar Bangsa Institute, menilai penghapusan batasan presiden oleh Mahkamah Konstitusi (CJ) merupakan bentuk kemajuan hukum yang dialami Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Baca juga:
Menurut para pengamat, penghapusan Presidential Threshold membuat beban partai politik semakin berat
“Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai batasan 20 persen hingga nol persen bagi calon presiden, kami melihat hal ini sebagai langkah progresif bagi lembaga hukum negara di bawah kepemimpinan Pak Prabowo dan Pak Gibran,” kata Farhan dalam siaran pers. melepaskan. melepaskan
Sejarah panjang persidangan presiden
Keputusan Mahkamah Konstitusi terbaru ini mengakhiri polemik panjang terkait ambang batas pencalonan presiden. Sejak 2018, beberapa gugatan telah diajukan ke pengadilan berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu, namun kali ini puas. Di bawah ini adalah ringkasan prosesnya.
1. Pada tahun 2018, sejumlah akademisi dan aktivis mengajukan judicial review terhadap klausul Presidential Threshold 20 persen. Gugatan ini diajukan oleh 12 ahli dari berbagai profesi antara lain Busyro Muqoddas, Chatib Basri, Faisal Basri, dan Bambang Widjojanto. Menurut mereka, undang-undang ini membatasi hak partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Namun Mahkamah Konstitusi menolak tuntutan tersebut.
2. Pada tahun 2021, gugatan serupa juga diajukan oleh beberapa politisi lain, termasuk mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Gatot menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena membatasi partisipasi politik. Namun Mahkamah Konstitusi kembali menolak tuntutan tersebut.
3. 2022 Pada Januari 2022, kelompok pengacara di ambang Kepresidenan kembali mengajukan permohonan peninjauan kembali. Gugatan serupa juga dilayangkan Anggota DPD RI Bustami Zainudin dan Fachrul Razi. Namun Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima.
4. 2023 Pada Februari 2023, Mahkamah Konstitusi kembali menolak permohonan uji materi yang diajukan guru kawakan Herifuddin Daulai. Hakim Saldi Isra saat itu mengatakan, pertimbangan hukum pada putusan sebelumnya telah gugur dan tidak ada dasar hukum yang kuat untuk mengubah pendirian KPK.
5. Pada tahun 2024, gugatan terakhir diajukan oleh Jans Arizona, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada. Dalam gugatannya, Jans berargumen bahwa batasan 20 persen itu tidak didasarkan pada metode dan bukti yang masuk akal, sehingga inkonstitusional. Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) juga ikut serta sebagai pelapor yang menyatakan bahwa pengaturan tersebut menghambat demokrasi.
Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi ini membuka babak baru dalam sistem demokrasi Indonesia. Pada pemilu presiden 2029, setiap partai politik berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden, terlepas dari apakah partai tersebut memperoleh kursi di DPRK atau memperoleh suara nasional sebenarnya pada pemilu sebelumnya.
Keputusan tersebut disambut baik oleh berbagai kalangan yang mengkritik ambang batas presiden sebagai penghambat demokrasi.
“Ini adalah kemenangan demokrasi. Kini masing-masing partai politik bisa mencalonkan calon terbaiknya tanpa dibatasi persyaratan persentase,” kata Yance kepada Arizona usai sidang.
Namun, sejumlah pihak menilai keputusan tersebut dapat menimbulkan fragmentasi politik dan meningkatkan jumlah pasangan calon sehingga meningkatkan risiko terjadinya pemilu presiden dua putaran.
Namun, para pendukung keputusan ini berpendapat bahwa situasi ini merupakan konsekuensi alami dari demokrasi yang lebih inklusif.
Halaman berikutnya
Keputusan Mahkamah Konstitusi terbaru ini mengakhiri polemik berkepanjangan terkait batasan pencalonan presiden. Sejak 2018, beberapa gugatan telah diajukan ke pengadilan berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu, namun kali ini puas. Di bawah ini adalah ringkasan prosesnya.