Jumat, 10 Januari 2025 – 05:57 WIB
Jakarta – DPR RI Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III, mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pembatalan batasan pencalonan presiden dan wakil presiden. ambang batas kepresidenan (PT) mempunyai implikasi kompleks terhadap dinamika politik Indonesia.
Baca juga:
Bamsoet membeberkan sejumlah konsekuensi dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus batasan calon presiden.
Di satu sisi, menurutnya, putusan MK memberikan peluang besar bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan presiden (pilpres) dengan memperbanyak jumlah pasangan calon. Namun di sisi lain, peningkatan jumlah pasangan calon presiden tidak selalu membawa pertanda positif.
“Menghancurkan ambang batas kepresidenan Diperkirakan jumlah calon presiden bisa bertambah dari tiga pasangan pada Pilpres 2024, menjadi lebih dari empat atau bahkan enam pasangan pada Pilpres 2029, kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu dalam keterangan tertulisnya. Diterima di Jakarta pada hari Kamis tanggal 9 Januari 2025.
Baca juga:
Willy Yosef-Habib Ismail Cabut Gugatannya di MK, Agustiar-Edi Pratovo Siap Dilantik Jadi Gubernur-Wakil Gubernur Kalteng
Dalam kondisi seperti itu, menurutnya, terdapat berbagai risiko yang mungkin terjadi, mulai dari perpecahan politik, polarisasi, biaya politik yang tinggi, hingga munculnya kandidat berkualitas rendah yang menjadi tantangan nyata.
Baca juga:
Mahkamah Konstitusi dijadwalkan menyelesaikan perselisihan Pilka pada 11 Maret 2025.
Oleh karena itu, perlu dicari strategi yang tepat agar calon presiden tidak terlalu banyak, berkualitas rendah, dan agenda politiknya sempit.
Menurut dia, peningkatan jumlah kandidat pada pemilu presiden tidak selalu membawa indikator positif bagi demokrasi.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa pluralitas kandidat dalam pemilu presiden sering kali disertai dengan belum matangnya kredibilitas politik, terbatasnya visi dan misi, serta keterwakilan politik yang tidak proporsional.
Bamsoet kemudian mencontohkan Pilpres Brasil 2018 yang diikuti 13 kandidat. Akibatnya, sebagian besar calon presiden memiliki pengalaman politik yang minim, sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan pemilih yang mencari pemimpin yang kredibel.
“Salah satu masalah utama setelah pencabutan ambang batas kepresidenan adalah menjaga kualitas calon. “Masyarakat harus cerdas dalam memilih partai dan mendorong calon presiden yang memiliki visi dan misi yang jelas, serta agenda yang luas dan inklusif.
Menurut dia, selain persoalan kualitas, banyaknya calon di Pilpres juga bisa menimbulkan polarisasi. Dengan keragaman etnis dan budaya, Indonesia rentan terhadap fragmentasi jika tidak dikelola dengan baik.
“Dengan banyaknya calon presiden, maka jelas pemilu presiden akan dilaksanakan lebih dari satu putaran, sehingga akan menambah beban biaya pemilu bagi pemerintah.
Selain itu, kata dia, pemilih juga harus mempunyai kemampuan untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas, karena pemimpin tidak boleh dipilih hanya berdasarkan popularitas atau citra saja.
“Perlu peningkatan kapasitas partai politik untuk mendidik kadernya tentang pentingnya kejujuran dan kualitas kepemimpinan. Pelatihan dan pendidikan kader akan membantu menyeleksi calon yang lebih berkualitas sehingga meningkatkan daya saing dan kemampuan calon presiden,” ujarnya. . (semut)
Halaman selanjutnya
Menurut dia, peningkatan jumlah kandidat pada pemilu presiden tidak selalu membawa indikator positif bagi demokrasi.