Tanggul Laut Misterius Sepanjang 30 Km di Perairan Tangerang, KKP: Degradasi dan Ancaman Lingkungan

Kamis, 9 Januari 2025 – 16:38 WIB

Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (MHAF) menegaskan segala bentuk pemanfaatan ruang laut tanpa izin dasar berupa Kepatuhan Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) merupakan pelanggaran hukum. Hal itu dibenarkan Sekretaris Jenderal Badan Kelautan dan Tata Ruang Maritim (DJPKRL) Kusdiantoro menanggapi situasi pagar sepanjang 30 kilometer di perairan Laut Tangerang di Provinsi Banten.

Baca juga:

Di tanganmu! Di Laut Tangerang, terdapat pagar mirip labirin misterius yang membentang sepanjang 30 km

Kusdiantoro menjelaskan, hambatan laut mencerminkan perolehan hak atas tanah di perairan laut secara tidak sah. Praktik ini tidak hanya mengancam keadilan akses publik, namun juga membuka kemungkinan terjadinya privatisasi ruang laut yang dapat merugikan keanekaragaman hayati.

“Pagar seperti ini dapat mengakibatkan tertutupnya akses masyarakat, berubahnya fungsi ruang laut, dan ancaman terhadap stabilitas ekologi. “Hal tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982,” jelas Kusdiantoro, Kamis, 9 Januari 2025.

Baca juga:

Detik: Wanita Palmera meninggal setelah terjatuh di bawah pagar

Pagar misterius itu membentang sepanjang 30 km di Laut Tangerang

Ia menambahkan, paradigma hukum pemanfaatan ruang maritim diubah menjadi rezim perizinan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Tujuan utamanya adalah memastikan ruang maritim tetap menjadi milik bersama yang adil dan terbuka bagi semua pihak.

Baca juga:

Aturan pengelolaan BBL menguntungkan nelayan

Heri Susanto, Anggota Ombudsman RI, menekankan pentingnya sinergi antarlembaga dalam penanganan kasus pagar laut. Menurut dia, Ombudsman siap melakukan penyidikan jika ditemukan tanda-tanda kejanggalan, termasuk penerbitan akta kepemilikan yang tidak wajar.

Hasil pemeriksaan ombudsman mungkin bisa menjadi dasar penindakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggar, kata Khery.

Pagar misterius itu membentang sepanjang 30 km di Laut Tangerang

Pagar misterius itu membentang sepanjang 30 km di Laut Tangerang

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) Rasman Manafi mengatakan pemagaran laut merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan. Ia menekankan perlunya memperkuat kontrol untuk mencegah privatisasi ruang laut dan menjamin partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.

Pendapat tersebut dibenarkan oleh Sumono Darvinto, Ketua HAPPI dan Direktur Pengendalian Sumber Daya Kelautan Direktorat Jenderal PSDKP CKP. Menurut dia, pelanggaran seperti itu banyak ditemukan di daerah yang belum ada KKPRL.

“Sanksi administratif seperti denda dan pembongkaran boleh diterapkan bagi yang melanggar hukum,” ujarnya.

Plt. Direktur Penataan Ruang Maritim Suharyanto menambahkan, penerbitan Sertifikat Hak Milik Maritim (TMT) jelas bertentangan dengan UUD 1945.

“Langkah ini tidak hanya mengancam hak-hak masyarakat adat, tetapi juga membuka pintu privatisasi yang merugikan kebaikan bersama,” jelasnya.

Menurutnya, PKC telah melakukan penyelidikan sejak September 2024, yang meliputi analisis citra dan catatan satelit. penandaan geografis selama 30 tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah tersebut bukanlah wilayah daratan, melainkan wilayah sedimen.

Di sisi lain, Analis Pertanahan Paberio Napitupulu berpendapat Kementerian ATR/BPN mempunyai kewenangan untuk mencabut sertifikat yang diterbitkan melalui cara administratif yang tidak tepat, sehingga hanya bidang tanah yang sah yang dapat memiliki sertifikat kepemilikan tanah.

Gangguan bagi nelayan

Berdasarkan laporan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten, bencana bendungan sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang berdampak langsung terhadap ribuan nelayan dan pembudi daya ikan. Laporan sejak Juni 2024 menunjukkan terganggunya aktivitas penangkapan ikan tradisional.

“Pagar laut ini menyulitkan nelayan untuk mengakses wilayah penangkapan ikannya dan merugikan perekonomian masyarakat pesisir,” kata perwakilan DKP Banten dalam diskusi tersebut.

DKP telah melakukan penelusuran lapangan sejak September 2024 untuk mencari solusi terbaik. Diskusi ini juga dihadiri 16 kepala desa, Persatuan Nelayan Indonesia (HNSI), dan perwakilan nelayan yang tergabung dalam Masyarakat Perikanan Indonesia (MPN). ) organisasi. Mereka meminta pemerintah pusat dan daerah mengambil langkah nyata untuk menghentikan privatisasi ruang maritim.

Halaman selanjutnya

Sumber: YouTube/Ombudsman

Halaman selanjutnya



Sumber