Soroti LSM Anti Sawit, Guru Besar IPB ini: Kalau tumbuh di Eropa, maka di AS tidak ada masalah.

Selasa, 14 Januari 2025 – 03:27 WIB

Jakarta – Rencana pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto untuk memanfaatkan kawasan hutan yang rusak untuk menanam kelapa sawit merupakan gagasan yang positif. Ada diskriminasi terhadap perkebunan kelapa sawit.

Baca juga:

Dukung Prabowo Perluas Lahan Sawit di Hutan Rusak, Guru Besar IPB: Tingkatkan Produktivitas Daerah

Ianto Santoso, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), menilai telah terjadi diskriminasi terhadap tanaman kelapa sawit di dunia. Menurutnya, tanaman yang tumbuh di negara tropis menjadi penyebab diskriminasi terhadap kelapa sawit.

Dari pangan hingga energi, minyak sawit memiliki banyak manfaat, ujarnya. Ia mencatat, kelapa sawit merupakan tanaman dengan hasil 4 hingga 8 kali lipat dibandingkan bunga matahari dan kedelai, yang merupakan sumber utama minyak nabati di Eropa dan Amerika Serikat.

Baca juga:

Kemenag memperketat seleksi guru besar, kini ujian kualifikasi diwajibkan

“Perang dagang internasional untuk minyak nabati terus berlanjut. Apakah kelapa sawit tumbuh di Eropa dan Amerika, cobalah [pihak asing] Saya tidak meragukannya,” kata Yanto, Selasa, 14 Januari 2025.

Ia mengatakan AS dan Eropa iri dengan minyak sawit Indonesia.

Baca juga:

Guru besar UI pertama di Indonesia ini dianugerahi gelar doktor kehormatan SPbPU Rusia

“Karena setiap hari kita mendapat sinar matahari penuh ya? Jadi produk sawit di daerah tropis ini tidak biasa,” kata Yanto.

Yanto mengatakan, adanya diskriminasi terhadap kelapa sawit menyebabkan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing memberikan pandangan negatif terhadap kelapa sawit. Evaluasi negatif yang dilakukan LSM selalu berujung pada deforestasi.

“Itulah yang membuat mereka iri. LSM bertanya. Sekarang coba pikirkan, ketika ada orang yang mencoba menanam tebu atau palem di kawasan hutan, apakah ada kebisingan? Tidak ada, lanjutnya.

Begitu sawit dipakai, kalau kata sawit dipakai, LSM-LSM itu langsung gempar kan? Mereka tidak bisa maju karena dibiayai asing untuk memukul kita, jelas Yanto.

Ia kemudian mendesak lembaga swadaya masyarakat, peneliti, atau profesor lainnya untuk tidak terus-menerus berpikir menentang kelapa sawit. Selain itu, jangan berpikir bahwa mereka yang peduli terhadap kelapa sawit tidak peduli terhadap hutan Indonesia.

“Semua masyarakat ini mencintai hutan Indonesia. “Kami juga cinta hutan, hutan kami yang tumbang, hutan kami, kami sangat mencintainya,” ujarnya.

Yanto menyatakan dukungannya terhadap rencana Presiden Indonesia Prabowo Subianto untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Indonesia yang sudah rusak atau terdegradasi. Sebab langkah ini positif bagi peningkatan produktivitas lapangan.

Bagi Yanto, perluasan lahan kelapa sawit di kawasan hutan yang rusak dan terdegradasi bukanlah deforestasi semata. Menurutnya, hal ini merupakan upaya meningkatkan produktivitas lahan yang sudah terdegradasi guna mencapai swasembada pangan dan sumber energi terbarukan.

“Kalau perkebunan sawit yang ditanam presiden kita ditanam di kawasan hutan yang rusak, itu bukan deforestasi.

Menurut dia, sejumlah pihak sepertinya salah paham dengan rencana pemerintah tersebut. Hal ini diduga karena pemerintah berencana membuka hutan hujan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

“Saya yakin ada kesalahpahaman mengenai pengertian hutan dan kawasan hutan. Semua yang tidak setuju sepertinya menganggap Presiden atau Menteri LHK akan membuka hutan liar.

Halaman berikutnya

Yanto mengatakan, adanya diskriminasi terhadap kelapa sawit menyebabkan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing memberikan pandangan negatif terhadap kelapa sawit. Penilaian negatif yang dilakukan LSM selalu berujung pada deforestasi.

Halaman berikutnya



Sumber