Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan bahwa industri otomotif akan menghadapi berbagai tantangan besar pada tahun 2025. Oleh karena itu, diperlukan insentif tambahan untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif di Tanah Air.
Diketahui, pemerintah kini tengah memberlakukan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% dan opsi Pajak Kendaraan Bermotor (MTC) serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (MBNKB). Selain itu, menyusutnya kelas menengah merupakan ancaman bagi industri otomotif, karena mereka adalah mesin perekonomian Indonesia dan juga pembeli kendaraan.
Tercatat, jumlah kelas menengah akan menurun dari 57 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Hal ini menyebabkan pasar mobil stagnan di angka 1 juta unit pada tahun 2014-2023 dan menyusut pada tahun 2024. Tanpa insentif tambahan, mereka khawatir penjualan mobil akan turun di bawah 800.000 unit pada tahun 2025.
Hal ini mungkin melanjutkan tren buruk di tahun 2024, dimana pasar akan anjlok 13,9% menjadi 865.723 unit. Sebaliknya, dengan skenario tambahan stimulus, pasar mobil bisa tetap terjaga dengan penjualan sebanyak 900.000 unit.
Sejauh ini, pemerintah mengumumkan potongan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar 3% untuk kendaraan hybrid. Namun insentif tersebut dinilai belum cukup.
Pemerintah memberikan insentif tambahan berupa potongan pajak penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan 4×2 rakitan lokal, kredit pajak untuk pembeli pertama, serta insentif bagi produsen yang melakukan lokalisasi dan penelitian dan pengembangan acara.
Pemerintah juga dapat mendukung sektor manufaktur dan memperlambat industrialisasi, memperpanjang jangka waktu kredit kendaraan selama 7-8 tahun, yang dapat meningkatkan daya beli konsumen. Dengan skema ini, pendapatan minimum yang dibutuhkan untuk mendapatkan kredit mobil berkurang 19-25% dalam jangka waktu lima tahun.
Selain itu, pemerintah dapat membantu meningkatkan ekspor kendaraan nasional dalam bentuk lengkap (CBU) dengan menjalin perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan beberapa negara. Yang lebih penting adalah melestarikan, bahkan memperkuat, kelas menengah yang menjadi urat nadi perekonomian nasional dan konsumen mobil baru.
Di sisi lain, pendapatan negara dan daerah dijamin tidak berkurang ketika insentif fiskal diterapkan. Sebab, terdapat tambahan volume perdagangan yang besar sehingga dapat meningkatkan pemungutan pajak penghasilan baik badan hukum maupun orang pribadi.
Setia Darta, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin), mencatat industri otomotif akan menyusut sebesar 16,2 persen pada tahun 2024. Penurunan tersebut terjadi tanpa memperhitungkan melemahnya daya beli masyarakat dan kenaikan suku bunga kredit kendaraan bermotor, penerapan kebijakan kenaikan PPN, serta penerapan opsi PKB dan BBNKB.
Sebagai salah satu penyumbang PDB terbesar, ia menyebutkan industri otomotif diperkirakan akan mengalami penurunan hingga Rp 4,21 triliun pada tahun 2024. Hal ini berdampak pada sektor backward link sebesar Rp4,11 triliun dan sektor forward link sebesar Rp. 3,519 triliun.
Menyadari pentingnya sektor otomotif terhadap kontribusi perekonomian Indonesia dan tantangan yang akan dihadapi pada tahun 2025, Kementerian Perindustrian secara aktif menyampaikan usulan insentif dan relaksasi kebijakan kepada pemangku kepentingan terkait, kata Setia Darta saat berdiskusi di Forum Jurnalis Industri. . , Selasa 14 Januari 2025.
Baca juga:
Mulai Januari 2025, harga Honda Brio bakal lebih mahal dibandingkan tahun lalu, perlu bawa uang lebih.
Termasuk juga PPnBM 3% (PPnBM DTP) yang dibayar pemerintah untuk kendaraan hybrid (PHEV, full, ringan) di antara beberapa usulan insentif Kementerian Perindustrian. Insentif PPN DTP kendaraan EV sebesar 10% untuk menggairahkan industri kendaraan listrik dan menunda atau memperlancar penerapan peluang PKB dan BBNKB.
“Saat ini sudah ada 25 daerah yang menerbitkan peraturan pelonggaran kemungkinan PKB dan BBNKB. “Kebijakan ini diharapkan benar-benar mendukung stabilitas industri otomotif nasional dan menjaga daya saingnya di pasar domestik dan dunia,” jelasnya.
Namun berdasarkan perhitungan LPEM Universitas Indonesia, opsi pajak akan diterapkan di seluruh daerah, dengan tarif PKB maksimal 1,2% dan BBNKB 12%, maka total pajak mobil akan naik menjadi 48,9% dari harga. dibandingkan sebelumnya 40,25%. Dampaknya, harga mobil baru naik 6,2 persen sementara daya beli masyarakat belum pulih.
Dengan elastisitas -1,5, penjualan mobil diperkirakan turun 9,3% pada tahun 2025 menjadi 780.000 unit. Salah satu opsi insentif yang bisa dipertimbangkan pemerintah adalah potongan PPnBM untuk kendaraan berpenggerak 4×2 dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (DCD) di atas 80. %, seperti yang dilakukan pada tahun 2021.
Diskon PPnBM 5% berarti dengan tarif PPnBM 10%, harga mobil bisa turun 3,6% sehingga bisa menciptakan tambahan permintaan sebanyak 53.476 unit. Selain itu, harga mobil dengan diskon PPnBM 7,5% atau tarif 7,5% dapat diturunkan sebesar 5,3% dengan tambahan permintaan sebanyak 80.214 unit. Lalu, jika diskon PPnBM 10% maka harga mobil turun 7,1% sehingga menambah permintaan sebanyak 106.592 unit.
Terakhir, dengan PPnBM 0%, harga mobil turun 10,7% sehingga menambah permintaan sebanyak 160.000 unit.
Baca juga:
Gaikindo: PPN 12 persen tidak akan menurunkan minat beli kendaraan baru
Suzuki Baleno menjadi mobil hatchback terlaris tahun 2024
Suzuki Baleno akan menjadi hatchback terlaris di tahun 2024.
VIVA.co.id
13 Januari 2025