Jakarta, VIVA- LSI Denny JA melakukan survei sentimen masyarakat terkait putusan Mahkamah Konstitusi (CJ) terkait Pemilihan Presiden (Pilpres). Hasilnya, sebanyak 68,19 persen responden menyambut positif keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2024 yang membolehkan setiap partai politik mengajukan calon presiden.
Baca juga:
DPR meminta Menteri Dalam Negeri menaati jadwal pelantikan pemenang pilkada tanpa pengadilan
Adji Alfarabi, Peneliti LSI Denny JA, mengatakan penelitian tersebut dilakukan antara 2-7 Januari 2025. Menurutnya, hal tersebut bukan hasil jajak pendapat masyarakat yang lazim digunakan. Namun hal ini merupakan hasil inovasi baru, yaitu aplikasi yang membaca percakapan di jejaring sosial dan media online di Internet.
“Ini adalah analisis konten yang diperhitungkan menggunakan alat Internet LSI untuk mengidentifikasi topik dan sentimen publik. Data dikumpulkan dari berbagai platform digital seperti media sosial, berita online, blog, forum, video, dan podcast. Sentimen yang Diteliti hanya mengandung hal-hal positif dan emosi negatif, netral,” kata Adji, Rabu, 15 Januari 2025 di Jakarta.
Baca juga:
Pakar digital forensik Muara angkat bicara soal kejanggalan Pilkada Enim
Menurut dia, mayoritas perbincangan memuji putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pilpres 2024 sebagai langkah berani untuk menggerakkan demokrasi ke arah yang lebih inklusif. Kini masing-masing partai punya kesempatan yang sama untuk mengusung calon presiden sehingga membuka ruang lebih luas bagi wakil rakyat.
Baca juga:
Risma Ajukan Banding Hasil Pilkada Jatim ke MK, Khofifah Pilih Kasus dan Kawal Implementasi MBG
“Dalam sistem baru ini, persaingan politik bukan lagi ajang dominasi partai-partai besar, melainkan ajang pertarungan ide dan visi yang sehat,” jelasnya.
Tentu saja, kata Adji, di setiap nafas demokrasi selalu ada tuntutan keadilan. Seruan ini bergema di kancah politik yang penuh harapan dan kegelisahan.
Menurut dia, harapan tersebut semakin nyata ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan Presidential Threshold. Sebuah keputusan monumental yang menantang status quo dan membuka jalan menuju demokrasi yang lebih inklusif, sehat, dan berpusat pada rakyat.
Namun, lanjut Adjie, momentum tersebut tidak boleh berhenti di tingkat nasional. Pilkada juga harus mengikuti model ini sebagai cerminan demokrasi lokal. Biarlah setiap partai, tanpa kecuali, berhak mengusung pemimpin daerah. Inilah wajah demokrasi yang sesungguhnya.
“Peraturan pilkada juga harus diubah agar sesuai dengan peraturan pilpres yang baru. Pemimpin daerah tidak dipilih oleh DPR, tetapi pilkada, seperti halnya pilpres, tetap dipilih langsung oleh rakyat, dan masing-masing partai politik diperbolehkan. untuk mengajukan calon-calon pemimpin daerah,” ujarnya.
Menurut Adji, penelitian yang dilakukan dengan menganalisis konten komputer nasional menunjukkan dinamika sentimen masyarakat terkait keputusan tersebut. Mayoritas dari 7.079 percakapan digital yang diteliti berasal dari berita dan video online, yang menunjukkan ketertarikan masyarakat terhadap isu ini.
“Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pilpres, hanya 31,81% responden yang menyatakan pendapat negatif.
Kekhawatiran mereka, kata Adji, adalah risiko perpecahan politik jika masing-masing partai diperbolehkan mengusung calon presiden. Akan banyak calon presiden yang mampu membagi suara terbanyak. Namun, demokrasi sejati harus memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memilih dari banyak pilihan.
“Jika risiko ini dikelola dengan baik, sebenarnya bisa menjadi peluang untuk memperkaya perdebatan publik dan memperdalam kematangan demokrasi,” jelas Adji.
Menurutnya, wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD untuk efisiensi ekonomi justru menimbulkan perasaan yang sangat negatif. Dari 1.898 wawancara yang dianalisis, 76,3 persen menolak.
“Masyarakat khawatir menjadi korban transparansi dan meningkatnya politik transaksional di DPRD. Hanya 23,7 persen yang mendukung wacana berbasis efisiensi ekonomi ini. Tapi demokrasi bukan hanya efisiensi, tapi juga investasi legitimasi, keterwakilan, dan kepercayaan masyarakat,” katanya.
Oleh karena itu, kata Adji, solusi untuk memperbaiki pilkada tetaplah pemilihan langsung oleh rakyat, namun masing-masing partai diperbolehkan mencalonkan pemimpin daerah. Dengan cara ini, demokrasi lokal diperkuat karena masyarakat diberi lebih banyak pilihan.
“Penerapan model bebas hambatan dalam pemilu daerah dapat memberikan banyak manfaat nyata. Partisipasi masyarakat akan meningkat karena mereka merasa lebih terwakili dalam proses politik. – kata Adji.
Halaman berikutnya
Menurut dia, harapan tersebut semakin nyata ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan Presidential Threshold. Sebuah keputusan monumental yang menantang status quo dan membuka jalan menuju demokrasi yang lebih inklusif, sehat, dan berpusat pada rakyat.