Cina, VIVA – Kebangkitan ekonomi global dan geopolitik Tiongkok sering kali dirayakan karena pencapaian infrastruktur dan laju pembangunannya. Namun di balik wacana ini terdapat kenyataan yang kurang dipublikasikan: degradasi lingkungan yang ekstrem, mulai dari ekosistem Himalaya yang rapuh hingga hutan hujan dengan keanekaragaman hayati di Amerika Selatan.
Baca juga:
Hubungan mencair, wakil presiden Tiongkok menghadiri pelantikan Donald Trump
The European Times melaporkan pada hari Jumat, 17 Januari 2025 bahwa gangguan ini, yang disebabkan oleh strategi pembangunan Tiongkok yang intensif sumber daya dan perluasan jejak global, tidak hanya berdampak serius terhadap lingkungan setempat, namun juga bagi keseimbangan ekologi yang lebih luas dan penghidupan jutaan orang. . rakyat.
Pembangunan bendungan besar yang dilakukan Tiongkok di Dataran Tinggi Tibet, yang sering disebut sebagai “Kutub Ketiga”, adalah contoh bahaya model pembangunan berorientasi infrastruktur. Sebagai sumber sungai-sungai besar seperti Mekong, Brahmaputra dan Yangtze, Dataran Tinggi Tibet sangat penting bagi keamanan air bagi hampir dua miliar orang di seluruh Asia. Namun, proyek pembangkit listrik tenaga air besar-besaran yang dilakukan Tiongkok, khususnya bendungan besar di Yarlung Tsangpo (Brahmaputra), menimbulkan permasalahan lingkungan dan geopolitik yang serius.
Baca juga:
Apa itu Catatan Merah? Aplikasi pengganti TikTok yang populer di Amerika Serikat
Pembangunan bendungan-bendungan ini mengganggu aliran air alami, mengancam masyarakat hilir di India dan Bangladesh dengan potensi kekurangan air dan ketidakseimbangan ekologi. Selain itu, proyek-proyek ini berisiko mengubah aliran sedimen yang diperlukan untuk produktifitas tepian sungai dan mengganggu migrasi ikan, yang merupakan mata pencaharian masyarakat setempat. Selain itu, ekosistem Himalaya yang rapuh sangat rentan terhadap aktivitas seismik, menjadikan proyek infrastruktur skala besar sebagai penyebab bencana lingkungan.
Tiongkok memandang bendungan-bendungan ini sebagai solusi energi ramah lingkungan yang diperlukan untuk mencapai ambisi netral karbonnya. Meskipun pembangkit listrik tenaga air mengurangi ketergantungan pada batu bara, dampak lingkungan yang diakibatkannya ditanggung secara tidak proporsional oleh negara-negara tetangga, dan terlebih lagi, oleh ekosistem hilir yang rentan. Bentuk eksploitasi lingkungan hidup ini, yang terselubung dalam retorika keberlanjutan, mencerminkan prioritas Tiongkok terhadap keamanan energi nasional dibandingkan keseimbangan lingkungan hidup regional.
Baca juga:
Joe Biden segera mengeluarkan peraturan yang melarang mobil asal Tiongkok memasuki AS
Namun, jejak Tiongkok tidak hanya terbatas di Asia. Tiongkok kini menjadi pemain utama di Amerika Selatan, didorong oleh permintaan bahan mentah yang tidak pernah terpuaskan. Mulai dari pertambangan tembaga di Peru hingga perkebunan kedelai di Brasil, investasi Tiongkok mengubah Amerika Selatan menjadi negara terdepan dalam sumber daya sekunder.
Meskipun investasi ini meningkatkan perekonomian lokal dalam jangka pendek, investasi ini sering kali mengorbankan degradasi lingkungan dan gangguan sosial. Misalnya saja, perluasan produksi kedelai, yang didorong oleh permintaan Tiongkok, telah menjadi pendorong deforestasi terbesar di Amazon.
Aktivitas Tiongkok telah berkontribusi terhadap hilangnya keanekaragaman hayati dan memperburuk perubahan iklim dengan mengurangi kapasitas hutan tropis untuk menyerap karbon. Demikian pula, investasi Tiongkok di bidang pertambangan telah dikaitkan dengan polusi air dan degradasi lahan, sehingga berdampak pada ekosistem dan komunitas lokal.
Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok semakin melembagakan praktik penambangan ini. BRI menjanjikan pembangunan infrastruktur namun sering kali mengikat negara tuan rumah pada perjanjian eksploitatif yang memprioritaskan kepentingan Tiongkok. Di Amerika Selatan, hal ini menyebabkan ekstraksi sumber daya yang berlebihan tanpa perlindungan lingkungan yang memadai, sehingga masyarakat lokallah yang menanggung dampak lingkungan paling berat.
Contoh nyata lainnya dari degradasi lingkungan di Tiongkok adalah dampaknya terhadap sumber daya air global. Praktik pengelolaan air yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok (PKT) menyoroti masalah air baik di dalam maupun luar negeri. Industrialisasi dan urbanisasi yang merajalela di negara ini telah menyebabkan polusi air yang parah dan ekstraksi yang berlebihan, sehingga menyebabkan 20 persen air permukaan Tiongkok tidak layak untuk digunakan manusia.
Secara global, proyek pembangkit listrik tenaga air Tiongkok di sungai lintas batas dapat menimbulkan dampak air di negara-negara hilir. Dengan mengendalikan aliran air di hulu, Tiongkok memberikan pengaruh yang signifikan terhadap negara-negara tetangganya, yang menyebabkan ketegangan dengan negara-negara seperti India, Vietnam, dan Kamboja. Tindakan ini melemahkan kerja sama internasional mengenai alokasi air, yang merupakan hal yang sangat penting di dunia yang semakin mengalami kelangkaan air.
Dilema Negara Berkembang dan Biaya Akuntabilitas
Intervensi lingkungan hidup yang dilakukan Tiongkok menyoroti ketegangan yang lebih luas antara pembangunan dan keberlanjutan, khususnya di negara-negara berkembang. Banyak negara yang mengupayakan pertumbuhan ekonomi menyambut baik investasi Tiongkok meskipun ada dampak buruk terhadap lingkungan. Pendekatan jangka pendek ini sering kali menyebabkan kerusakan lingkungan jangka panjang, menjebak negara-negara dalam siklus degradasi lingkungan dan ketergantungan pada modal Tiongkok.
Dampak lingkungan dari model pembangunan Tiongkok juga menimbulkan tantangan terhadap tujuan iklim global. Meskipun Tiongkok adalah penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, investasi Tiongkok pada pembangkit listrik tenaga batu bara dan ekstraksi sumber daya di luar negeri semakin memperluas jejak karbonnya. Narasi ganda ini, yaitu komitmen ramah lingkungan dalam negeri dan eksploitasi lingkungan eksternal, menimbulkan pertanyaan tentang ketulusan Tiongkok dalam mengatasi masalah lingkungan hidup global.
Mengatasi degradasi lingkungan di Tiongkok memerlukan pendekatan multifaset. Pertama, komunitas internasional harus mendukung standar lingkungan yang ketat dalam investasi Tiongkok di luar negeri. Mekanisme seperti Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB dapat berfungsi sebagai platform untuk meminta pertanggungjawaban Tiongkok atas dampak lingkungannya.
Kedua, kerja sama regional penting, terutama dalam pengelolaan sumber daya bersama seperti sungai lintas batas. Negara-negara yang terkena dampak pembangunan bendungan Tiongkok harus mencari perjanjian yang mengikat secara hukum mengenai pembagian air yang didukung oleh mediator internasional.
Terakhir, paradigma pembangunan global perlu dipertimbangkan kembali. Negara-negara berkembang perlu menjajaki model pertumbuhan alternatif yang memprioritaskan stabilitas dan keberlanjutan dibandingkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Hal ini mencakup diversifikasi sumber investasi untuk mengurangi ketergantungan pada Tiongkok dan mendorong peningkatan kapasitas lokal untuk pengelolaan sumber daya yang lebih berkelanjutan.
Dari Himalaya hingga Amerika Selatan, model pembangunan Tiongkok telah meninggalkan jejak degradasi lingkungan, merusak lingkungan lokal dan upaya keberlanjutan global. Meskipun kebangkitan Tiongkok membawa manfaat ekonomi jangka pendek, dampak buruknya terhadap lingkungan tidak dapat diabaikan.
Ketika dunia bergulat dengan perubahan iklim dan kelangkaan sumber daya, kebutuhan akan praktik pembangunan yang bertanggung jawab semakin meningkat. Meminta pertanggungjawaban Tiongkok atas jejak lingkungannya bukan hanya soal keadilan lingkungan, namun juga sebuah langkah menuju perlindungan hak atas sumber daya untuk generasi mendatang.
Halaman berikutnya
Meskipun investasi ini meningkatkan perekonomian lokal dalam jangka pendek, investasi ini sering kali mengorbankan degradasi lingkungan dan gangguan sosial. Misalnya saja, perluasan produksi kedelai, yang didorong oleh permintaan Tiongkok, telah menjadi pendorong deforestasi terbesar di Amazon.