Sabtu, 18 Januari 2025 – 16.10 WIB
Jakarta – Plt Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi menegaskan pihaknya tidak memperbolehkan poligami di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal itu diungkapkan Teguh menanggapi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian.
Baca juga:
Pj Gubernur DKI Teguh Setyabudi: Pergub tentang Poligami untuk Melindungi Keluarga ASN
Justru yang viral seolah-olah kita membiarkan poligami, itu sama sekali tidak sesuai dengan semangat kita, kata Teguh kepada wartawan di Jakarta, Sabtu, 18 Januari 2025.
Di sisi lain, Teguh menilai peraturan gubernur itu bertujuan untuk melindungi keluarga Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan memperkuat aturan seputar pernikahan dan perceraian.
Baca juga:
Paling Terkenal: Belajar di Bulan Ramadhan, Bukan Hari Libur, Pergub DKI ASN Boleh Poligami
Semangatnya melindungi keluarga ASN dengan cara apa? Dengan memperkuat aturan terkait nikah dan cerai, kata Teguh.
Baca juga:
Sederet film bertema poligami, siap-siap menguras emosi
Kemudian, kata dia, Pergub tersebut memiliki kriteria yang mengatur perkawinan atau perceraian bagi ASN DKI. Ia mencatat, peraturan gubernur tersebut juga bertujuan untuk melindungi keluarga ASN.
“Memang kita ingin nikah dan cerai yang dilakukan ASN di DKI Jakarta benar-benar diberitakan, ini juga untuk kebaikan. Termasuk juga bagaimana kita melindungi keluarga jika terjadi perceraian. Misalnya melindungi hak mantannya. -istri dan anak “Kami akan lindungi anak-anaknya,” kata Tegu.
Teguh menjelaskan, salah satu kriteria ASN yang ingin beristri lebih dari satu atau berpoligami adalah harus mendapat persetujuan atasan. Kemudian, katanya, dengan persetujuan istri dan penghasilan yang cukup.
“Terus kriterianya beda-beda seperti itu. Ada izin pejabat yang berwenang, ada izin istri. Lalu harus punya penghasilan yang cukup, itu salah satu kriterianya, tapi itu bukan kriteria utama, itu ada. Harus ada juga.” menjadi perintah pengadilan,” ujarnya.
Sebagai informasi, syarat perkawinan dan perceraian dalam Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 lebih rinci dibandingkan PP Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 45 Tahun 1990.
Dalam PP ini, boleh beristri banyak atau berpoligami jika memenuhi syarat, yaitu istri tidak mampu menunaikan kewajibannya, istri cacat fisik atau tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak mempunyai anak. setelah sepuluh tahun menikah.
Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Pergub Nomor 2 Tahun 2025 merinci syarat diperbolehkannya poligami sebagai berikut:
A. Alasan utama menikah:
1. apabila istri tidak dapat memenuhi kewajibannya;
2. jika isteri mempunyai cacat fisik atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
3. istri tidak dapat melahirkan anak setelah sepuluh tahun menikah;
B. memperoleh persetujuan tertulis dari isteri atau isteri;
C. mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi istri dan anak-anaknya;
D. bersedia bersikap adil terhadap istri dan anak;
e.tidak mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan; Dan
F. mempunyai penetapan pengadilan yang membolehkan poligami.
Kemudian, untuk perceraian, Pasal 11 Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 merinci alasan yang harus dipenuhi untuk mengajukan izin cerai, yaitu:
a.salah satu pihak melakukan perzinahan;
B. salah satu pihak menjadi pecandu alkohol, pecandu narkoba, atau penjudi yang tidak dapat disembuhkan;
C. salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lainnya dan tanpa alasan yang sah atau karena alasan lain di luar kemampuan/kehendaknya;
D. salah satu pihak diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun setelah perkawinan, atau pidana yang lebih berat;
e. kekejaman atau pelecehan berat yang dilakukan salah satu pihak sehingga merugikan pihak lain; atau
F. akan terjadi pertengkaran dan pertengkaran terus-menerus antara suami dan istri, dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi di rumah.
Halaman berikutnya
Teguh menjelaskan, salah satu kriteria ASN yang ingin beristri lebih dari satu atau berpoligami adalah harus mendapat persetujuan atasan. Kemudian, katanya, dengan persetujuan istri dan penghasilan yang cukup.