Jumat, 24 Januari 2025 – 19:41 WIB
Jakarta – Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia merupakan negara perokok tertinggi kedua di dunia, dengan sekitar 300.000 kematian per tahun akibat merokok.
Baca juga:
WHO Menanggapi Keputusan Trump Menarik Keanggotaan AS: Tolong Pikirkan Lagi!
Asosiasi. Prof. Ronnie Lesmana, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dalam sebuah acara di Jakarta, Jumat 24 Januari 2025.
Menurutnya, prevalensi merokok di Indonesia terus meningkat. Proyeksi prevalensi merokok akan meningkat dari 31,7 persen pada tahun 2000 menjadi 37,5 persen pada tahun 2025.
Baca juga:
AS telah menarik diri, catat WHO
Menurut Ronny, intervensi kebijakan salah satunya adalah alternatif untuk mengurangi kematian akibat rokok melalui konsep Tobacco Harm Reduction (THR) atau Pengurangan Risiko Tembakau.
Baca juga:
Dokter Gedung Putih mengkritik keputusan Trump untuk menarik Amerika Serikat dari WHO
Konsep THR disorot dalam Life Saving Report, sebuah laporan global yang melibatkan berbagai profesional kesehatan dari berbagai negara, termasuk dua ahli dari Indonesia. Laporan tersebut diterbitkan oleh Global Health Consults pada November 2024.
“Konsep THR telah digunakan oleh 120-140 juta orang di seluruh dunia. Secara umum, pengguna THR adalah penduduk negara-negara berpendapatan tinggi seperti Swedia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. “Pengguna THR di negara-negara tersebut sadar akan dampak dan manfaat THR dalam membantu mereka berhenti merokok,” kata Prof. Ronnie adalah salah satu penulis The Lives Saved Report.
Ronnie menjelaskan, THR merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi risiko kesehatan dan sosial yang terkait dengan kebiasaan atau penggunaan zat tertentu. Metode yang digunakan adalah dengan menghadirkan alternatif yang lebih baik sebagai pilihan pengguna guna mengurangi risiko (reduce damage).
“Lebih dari 8 juta orang meninggal karena merokok di Indonesia dan belum ada langkah serius yang diambil untuk menghentikan angka ini. “Kita perlu mengajak masyarakat yang bekerja di layanan kesehatan untuk lebih banyak bicara tentang THR,” ujarnya.
Ronny mengatakan penerapan THR akan menyelamatkan 4,6 juta jiwa pada tahun 2060 dan menurunkan angka kematian sebesar 123.000 per tahun. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia perlu mendorong penggunaan produk-produk alternatif yang berisiko rendah, serta meningkatkan akses dan layanan pengobatan kanker paru-paru.
“Sebagai akademisi, kami berbicara menggunakan data penelitian laboratorium. Kita perlu memahami dampak ekonomi dan efek samping dari negara perokok kita. “Tujuan kita adalah Indonesia sehat,” ujarnya.
Dokter Spesialis dan Dosen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Marantha, Prof. Dr. Wahyu Widowati mengatakan Indonesia memerlukan langkah yang sangat serius yang melibatkan kerja sama berbagai pihak untuk mengurangi bahaya rokok. Hal itu diungkapkan Wahyu menanggapi laporan yang disampaikan.
Menurut Wahyu, pemerintah harus membuka diri dan merumuskan peraturan berbasis ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah perokok dengan sebaik-baiknya.
“Berhenti merokok itu sangat sulit. Oleh karena itu, THR merupakan alternatif yang baik untuk mempromosikan konsep pengurangan dampak buruk. Kita fokus saja ke Indonesia saja, karena angkanya sendiri jauh lebih tinggi seperti disebutkan di atas. “Metode THR bukanlah hal yang tabu, namun penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk lebih menunjukkan potensi manfaatnya,” ujarnya.
Profesor Wahyu menyarankan penelitian lebih lanjut untuk mengukur berapa banyak produk alternatif berisiko rendah yang tersedia di Indonesia, jumlah penggunanya, serta dampak pengguna rokok yang beralih ke produk berisiko rendah. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang lebih akurat untuk mendorong kebijakan pengendalian penggunaan rokok yang lebih baik.
Halaman berikutnya
Ronny mengatakan penerapan THR akan menyelamatkan 4,6 juta jiwa pada tahun 2060 dan menurunkan angka kematian sebesar 123.000 per tahun. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia perlu mendorong penggunaan produk-produk alternatif yang berisiko rendah, serta meningkatkan akses dan layanan pengobatan kanker paru-paru.