Mengenal istilah Silent Majority yang sekarang ini banyak sekali

Jumat, 8 November 2024 – 23:26 WIB

Jakarta Istilah “mayoritas diam” pertama kali menjadi populer pada akhir tahun 1960-an, terutama dalam konteks politik Amerika Serikat, ketika Presiden Richard Nixon menggunakannya untuk merujuk pada segmen masyarakat yang relatif diam namun penting yang jarang mengungkapkan pandangan politiknya secara terbuka. masih mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar dalam menentukan arah kebijakan negara. Silent mayoritas ini adalah kelompok yang jarang berbicara di media atau ruang publik, namun karena keikutsertaannya dalam proses pemungutan suara menjadi faktor nyata dalam pemilu.

Baca juga:

Sebelum debat calon Wali Kota Bogor, Atang-Anida menyasar pemilih mengambang

Di Indonesia, konsep silent mayoritas menjadi lebih penting dalam situasi politik kontemporer, terutama ketika masyarakat tidak puas dengan kondisi politik atau merasa tidak didukung oleh tokoh atau partai tertentu. Pindah lagi, oke?

Pada Pilkada Jakarta 2024, gerakan Besado Mayoritas Jakarta (SMJ) yang mendukung pasangan calon independen Dharma Pongrekun dan Kun Wardana menjadi sorotan, mengingat hasil survei Parameter Politik Indonesia (PPI) yang menunjukkan 42,6 persen pemilih Jakarta diputuskan masih dalam kategori float public atau float selector. Pemilih tersebut terdiri dari masyarakat yang belum memilih (undecided voter) dan merupakan pemilih setia yang masih dapat dipengaruhi oleh kampanye pasangan calon.

Baca juga:

Laporan peluncuran tim Bobby-Edi Rahmayadi telah didalami Polrestabes Medan

Menurut ketua relawan SMJ Romeo V. Sianipar, banyaknya pemilih mengambang menjadi bukti kuat bahwa masyarakat Jakarta sangat menginginkan kepemimpinan yang benar-benar fokus pada kesejahteraan rakyat dan bebas dari kepentingan politik transaksional. Kelompok Silent Majority di Jakarta mengaku mewakili suara dari silent mayoritas yang berpendapat bahwa anggaran besar Jakarta sebesar 70 triliun rupiah harus dikelola secara langsung untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya menjadi fokus kawasan elite.

Baca juga:

Mahasiswa menuntut Polda Banten netral dalam pilkada

“SMJ melihat hal ini sebagai bukti kuat bahwa warga Jakarta mendambakan kepemimpinan yang fokus pada kesejahteraan masyarakat dan membawa solusi nyata bagi kota. Jakarta dengan anggaran lebih dari Rp 70 triliun harus memastikan dana tersebut tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat, namun juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat. pergi ke elite, tapi kembali ke rakyat,” kata Romeo.

Dharma Pongrekun dan Kun Vardana

Gerakan SMJ dan paslon Dharma-Kun menjadikan silent mayoritas sebagai strategi utama mereka dalam menggaet suara. Gerakan mereka juga mengedepankan nilai-nilai keagamaan dan kesejahteraan bersama tanpa membedakan latar belakang dan status sosial, sesuai visi calon gubernur Dharma Pongrekun yang mengatakan bahwa “Jakarta ada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, Maha Besar dan Maha Agung. Maha Penyayang. Semoga kehendak Allah untuk Jakarta terlaksana.” Dengan kata lain, pasangan Dharma-kun ingin Jakarta menjadi pusat stabilitas dan kemajuan perekonomian Indonesia dengan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.

Fenomena silent mayoritas di Pilkada Jakarta juga dipengaruhi oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Banyak masyarakat yang sudah muak dengan politik transaksional yang seringkali hanya berpihak pada kepentingan segelintir orang.

    Ketua Pelaksana Poltracking, Hanta Yuda

Poltrekking meminta Dewan Kehormatan Persepi meminta maaf kepada masyarakat karena keputusan tersebut salah secara hukum

Direktur Eksekutif Indonesia Hanta Yuda menilai keputusan dewan etik Persepi cacat hukum dan materiil.

img_title

VIVA.co.id

8 November 2024



Sumber