Litigasi dugaan kerugian negara dalam kasus PT Timah, fokus pakar hukum

Selasa, 26 November 2024 – 23:10 WIB

Jakarta – Spesialis Hukum Prof. Romli Atmasasmita juga menyoroti metode penghitungan kerugian masyarakat yang digunakan dalam kasus ini. Dia mengatakannya karena dia ahlinya.

Baca juga:

Kerugian negara dalam kasus Tom Lembong dipertanyakan, hakim praperadilan bilang tak perlu menunggu hasil BPC

Ia hadir sebagai saksi ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin, 25 November 2024.

Salah satu penyusun UU Tipikor menjelaskan, penghitungan kerugian masyarakat seharusnya hanya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (SAO), sesuai amanat UUD 1945.

Baca juga:

DPR ingatkan KPK jangan jadi alat politik pemilukada pasca penangkapan Gubernur Bengkulu

“Kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu berbeda. Kerugian keuangan negara tentu terkait dengan APBN atau APBD sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang (UU). Sementara itu, kerugian negara juga bisa disebabkan oleh aspek lain, misalnya kerusakan lingkungan hidup. Namun yang mengukur kerugian lingkungan bukan tanggung jawab BPK atau BPKP, melainkan ahli lingkungan hidup, kata Romli Atmasasmita kepada wartawan, Selasa, 26 November 2024.

Sidang kasus korupsi perdagangan timah di Pengadilan Tipikor Jakarta

Baca juga:

Kelompok penasihat hukum Tom Lembong menyebut Jaksa Agung melanggar KUHAP dan melawan hukum

Ia juga merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MKCC) terhadap Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor yang menghilangkan kata “dapat” dari frasa merugikan negara.

Mahkamah Konstitusi menghilangkan kata “boleh” dalam perkara korupsi karena bertentangan dengan UUD 1945.

“Jika kerugian hanya berdasarkan perhitungan, maka hal itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk memutus suatu perkara korupsi. “Hakim bebas menguji, tapi MK menegaskan kerugiannya harus jelas,” ujarnya.

BPKP tidak berwenang menghitung kerugian negara

Dalam kaitan ini, penggunaan hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga bermasalah.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) ini juga mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya BPK yang mempunyai dasar hukum untuk menghitung kerugian negara.

“BPKP tidak mempunyai dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai Pengendali dan Auditor Internal Kementerian/Lembaga. Dasarnya hanya keputusan Presiden. “Penghitungan kerugian resmi negara menjadi tugas BPK,” imbuhnya.

Dia mengatakan, pelaporan yang digunakan dalam kasus PT Timah terkesan dipaksakan, apalagi kasus tersebut ditujukan kepada pihak swasta yang kebetulan hanya merupakan mitra kerja anak usaha BUMN.

“Lidahku terpaksa. Latar Belakang Kegiatan Melanggar Hukum (PMH) tidak terlihat jelas. Masih wajar jika terjadi kompromi kekuasaan di tingkat direktur (PT Timah). “Kalau swasta, itu sama sekali tidak benar karena mereka punya perlindungan dalam perjanjian kontrak,” ujarnya.

Etika hakim di bawah tekanan

Aspek penting lainnya adalah adanya tekanan masyarakat terhadap etika hakim dalam persidangan. Prof. Menurut Romley, situasi ini menjadi permasalahan serius, khususnya bagi hakim yang menangani kasus korupsi.

“Hakim seringkali dihadapkan pada dilema. Membuang najis tidak berarti menghilangkan dosa yang lebih tinggi bukan? Mari kita lihat apakah dia akan masuk surga atau neraka,- tutupnya.

Pada saat yang sama, Prof. Romli Atmasasmita hadir sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus PT Tima yang melibatkan terdakwa Tamron, Hasan Tjhi, Ahmed Albani, Buyung (kwan yung).

Halaman berikutnya

“Jika kerugian hanya berdasarkan perhitungan, maka hal itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk memutus suatu perkara korupsi. “Hakim bebas menguji, tapi MK menegaskan kerugiannya harus jelas,” ujarnya.

Halaman berikutnya



Sumber