Sabtu, 16 November 2024 – 21:37 WIB
Jakarta, VIVA – Di peringatan 50 tahun Jakarta Biennale 2024, Brian Suebu menjadi seniman pertama asal Sentani, Papua yang mengikuti ajang bergengsi tersebut.
Baca juga:
Jumlah KKB di Papua Bisa Meningkat, Kapolri Perintahkan Brimob
Jagakarsa, Jakarta Selatan, Brian memaparkan karyanya yang berkolaborasi dengan GoodSchool Ecosystem. “Lari tanpa pamit”itu penuh dengan pesan lingkungan.
Melalui program residensi Baku Konek, ia berkesempatan untuk mengeksplorasi dan mengungkapkan perasaannya tentang dampak pembangunan terhadap lingkungan dan populasi hewan. Mari kita lanjutkan menelusuri artikel lengkapnya di bawah ini.
Baca juga:
Papua akan menjadi pusat AI
Pekerjaan “Lari tanpa pamit” menggambarkan keprihatinan Brian terhadap punahnya berbagai spesies hewan di sekitar kita akibat pesatnya perkembangan dan pertumbuhan populasi.
“Karya ini menggambarkan rasa kehilangan dan kebingungan karena hewan-hewan tersebut seolah menghilang tanpa jejak karena habitatnya terus tergerus oleh kepentingan manusia” Brian menjelaskan.
Baca juga:
Gubernur Lemhannas menyebut Papua sebagai daerah rentan, namun masih terkendali
Sebagai seorang seniman, ia merasa penting untuk mengajak penontonnya merefleksikan dampak aktivitas manusia terhadap ekosistem, khususnya keseimbangan antara pembangunan dan konservasi.
Brian berharap melalui karya ini, terwujudnya ekosistem tempat masyarakat dapat menyampaikan keprihatinannya terus berlanjut. Brian mengajak masyarakat yang melihat karyanya untuk memikirkan keberlanjutan dan tanggung jawab menjaga alam.
“Betapa pentingnya menjaga habitat alami agar generasi mendatang dapat menikmati keanekaragaman hayati yang ada saat ini” kata Brian.
Kiprahnya di Jakarta Biennale mengajak masyarakat untuk turut serta mengurangi pemanfaatan alam demi keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan kehidupan seluruh makhluk.
Pengalaman kerjasama di Baku Konek
Pengalaman Brian Suebu di program residensi Baku Konek memberinya banyak ruang untuk berekspresi dan mengeksplorasi perspektif artistik yang berbeda dari lingkungan baru.
Baginya, kesempatan bekerja di residensi Baku Konek dan mempresentasikan hasilnya di Jakarta Biennale merupakan pengalaman berharga.
“Saya sangat senang dan bersyukur bisa menjadi bagian dari Baku Konek dan karya-karyanya dipamerkan di peringatan 50 tahun Jakarta Biennale. “Ini adalah kesempatan bagus untuk memperkenalkan pandangan saya tentang alam dan keberlanjutan di panggung besar dan melihat bagaimana seni dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap lingkungan” – katanya.
Brian merupakan salah satu dari 18 artis terpilih untuk program Baku Konek yang diselenggarakan oleh National Talent Management (MTN) dan Ruangrupa.
Residensi ini dirancang untuk memberikan kesempatan kepada seniman lokal dari seluruh Indonesia untuk berkolaborasi dan mengembangkan karya mereka.
Pada Jakarta Biennale yang berlangsung hingga 15 November 2024 di Taman Ismail Marzuki, karya Brian bersama seniman lainnya akan membawa warna, pesan, dan dampak bagi pengunjung lokal dan internasional.
Program residensi ini diinisiasi oleh Ruangrupa dan Direktorat Pengembangan Kepegawaian dan Lembaga Kebudayaan (PTLK), Kementerian Kebudayaan melalui Pengelolaan Bakat Nasional (MTN) Bidang Seni Budaya dan bekerja sama dengan komunitas dan komunitas seni di berbagai daerah. Indonesia.
Program Baku Konek memungkinkan seniman untuk mengadakan residensi di berbagai daerah di Indonesia dan membuka ruang dialog antar budaya dan lingkungan.
Merayakan ulang tahun ke-50 Jakarta Biennale, karya-karya ini mencerminkan kompleksitas keragaman budaya Indonesia, serta tantangan lingkungan yang dihadapi masyarakat di seluruh nusantara.
Halaman selanjutnya
Brian berharap melalui karya ini, terwujudnya ekosistem tempat masyarakat dapat menyampaikan keprihatinannya terus berlanjut. Brian mengajak masyarakat yang melihat karyanya untuk memikirkan keberlanjutan dan tanggung jawab menjaga alam.