4 Krisis ekonomi yang melanda pemerintahan Prabowo-Gibran

Jumat, 12 Juli 2024 – 06:06 WIB

Jakarta – Para ekonom menilai pemerintahan Prabowo Subianto berikutnya akan mewarisi beban ekonomi yang sangat berat dengan empat kemungkinan krisis yang bisa terjadi pada masa pemerintahannya.

Baca juga:

Sederet Permasalahan Ekonomi Pemerintahan Prabowo-Gibran: Lapangan Kerja hingga Defisit APBN

Ekonom Universitas Paramadina Vijayanto Samirin mengatakan krisis pertama yang mungkin terjadi adalah krisis keuangan yang tercermin dari debt service ratio pada tahun 2025 yang mencapai 43,4 persen. Dengan demikian, hampir 50 persen pendapatan negara hanya digunakan untuk membayar bunga dan sebagian pokok utang.

“Kemudian tarif pajak juga bisa stagnan karena masalah struktural, sehingga ke depan pemerintah akan lebih bergantung pada Surat Berharga Negara (SBN) yang saat ini memiliki harga pasar 7,2 persen. Jadi mau tidak mau kita terjebak utang , ujarnya, dikutip Vijayanto dalam diskusi “Dilema Kabinet Prabowo dalam Kerangka Koalisi Besar”, di Jakarta, Jumat, 12 Juli 2024.

Baca juga:

Prabowo akan membentuk 41 kementerian, kata ekonom tersebut, dan dapat membiayai pengeluaran rutin pemerintah

Krisis kedua adalah krisis industri yang terlihat dari menurunnya peran industri manufaktur terhadap PDB. Jumlah ini hanya 18 persen dari PDB, atau kurang dari 22 persen pada pertengahan tahun 2010an.

Baca juga:

Dasco mengatakan pemerintahan Prabowo akan disiplin fiskal dan fokus pada penciptaan lapangan kerja

Apalagi, saat ini banyak pengusaha yang mengeluhkan sikap lalai pemerintah terhadap situasi tersebut, yang pada akhirnya berdampak pada daya saing produk Indonesia dibandingkan produk negara lain. Hal ini menyebabkan banyak pengusaha lokal yang menjadi agen atau distributor produk luar negeri seperti produk China dibandingkan mencoba mengembangkan produksi di dalam negeri.

“Ini nama-nama besar (pengusaha) yang bercerita seperti itu kepada saya. Makanya kita lihat pabrik tekstil atau garmen tutup dan ini akan terus berlanjut. Sebab. pemikiran “Hal ini juga terjadi di kalangan bisnis besar,” katanya.

Kemudian krisis yang ketiga adalah krisis ketenagakerjaan, saat ini terdapat 10 juta generasi Z yang menganggur sehingga pemerintah tidak bisa memanfaatkan bonus demografi. Padahal, sebelum Presiden Jokowi menjabat, hanya 40 persen pekerja yang bekerja di sektor informal. Namun kini angkanya sudah mencapai 70 persen.

Presiden Joko Widodo (Jokowi)

Presiden Joko Widodo (Jokowi)

Foto:

  • Biro Pers Sekretariat Presiden

Hal ini sejalan dengan keengganan dunia usaha untuk melakukan ekspansi, dan justru memperoleh efisiensi yang lebih besar dengan memberhentikan banyak pekerjanya. “Karena pekerja informal sebenarnya adalah pengangguran, namun masih berusaha mencari nafkah,” kata Vijayanto.

Krisis yang keempat adalah krisis mata uang rupee. Berdasarkan data tahunan (tahun) hingga 8 Juli 2024, tercatat pada tahun lalu pelemahan mata uang Garuda dibandingkan mata uang dunia mencapai 81,28 persen.

“Karena krisis global, rupee melemah hanya 50 persen. Tapi sekarang kita sudah melemah lebih dari 80 persen. Artinya masalahnya ada di diri kita sendiri, yaitu masalah struktural dan fundamental,” ujarnya.

Halaman selanjutnya

Kemudian krisis yang ketiga adalah krisis ketenagakerjaan, saat ini terdapat 10 juta generasi Z yang menganggur sehingga pemerintah tidak bisa memanfaatkan bonus demografi. Padahal, sebelum Presiden Jokowi menjabat, hanya 40 persen pekerja yang bekerja di sektor informal. Namun kini angkanya sudah mencapai 70 persen.

Halaman selanjutnya



Sumber