Minggu, 17 November 2024 – 19:52 WIB
Sedangkan VIVA – Sekjen DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Christianto yang mengaku sebagai warga negara biasa dan bukan gelar, berbicara pada Forum Demokrasi “Selamatkan Demokrasi di Sumut” pada Minggu, 17 November 2024 di Medan ‘zladi. .
Baca juga:
Pramono Anung-Bang Doel Jaga Kesatuan di Debat Terakhir: Bismillah Lancar!
Hasto menjelaskan berbagai pengkhianatan demokrasi yang terjadi, lalu mempertanyakan apakah pilkada di Sumut bisa ditunda sekaligus jika netralitas pemerintah terus berlanjut.
“Apakah kita menyetujui tindakan lembaga negara yang tidak netral? kata Hasto.
Baca juga:
Debat Final Calon Gubernur Jatim Besok, Ini Topiknya
Penonton menjawab, “Tidak.”
Baca juga:
Ridvon Kamil bercanda bahwa dia berlatih di kamar mandi untuk debat terakhir
“Pilkada termasuk aparatur negara. Apakah layak dilanjutkan?” tanya Hasto lagi.
“Tidak,” jawab penonton.
“Kami berharap pilkada tetap menjadi agenda nasional. Namun syarat imparsialitas dan keadilan harus dijamin oleh pemerintah bersama seluruh penyelenggara pemilu. “Dan kami dukung kelanjutan demokrasi,” kata Hasto.
Hasto memberikan pidato panjang yang disampaikan dengan penuh semangat dan mendapat sambutan hangat dari hampir 1.000 tokoh masyarakat Sumut yang hadir.
Hasto memuji Sumut yang telah melahirkan sedikitnya 12 Pahlawan Nasional. Namun, tindakan sebuah keluarga yang berambisi untuk terus berkuasa bisa menggagalkan perjuangan sang pahlawan.
“Saya sengaja menyebutkan nama Pahlawan Nasional Sumut untuk menegaskan bahwa ini adalah tanah para patriot, tanah para bangsawan bangsa yang berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan keluarga. , “katanya. Sakit.
“Sudah menjadi tugas dan kewajiban kita semua untuk menjaga demokrasi di Sumut. Sama dengan tugas para pahlawan. Itulah sebabnya kita berperang tanpa mengetahui rasa takut. Kami menentang segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merusak demokrasi. Bayangkan karena ambisi satu keluarga, Sumut ingin menjadi bagian dari kekuatan keluarga. Apakah kita siap? tanya Hasto lagi.
– Tidak, – jawab penonton dengan semangat.
Hasto menjelaskan, pilkada yang seharusnya mencerminkan kualitas peradaban masyarakat, justru dihancurkan oleh ambisi kekuasaan seseorang yang senang dipanggil “Raja”. “Raja” atau dokter apa. Sukidi bak tokoh dalam “Hitler dan Pinokio” kini berusaha memberikan pengaruh di Sumatera Utara.
“Raja ini suka berbohong dan mengingkari janji kekuasaannya. Raja gemar menyalurkan sembako dari dana masyarakat untuk kepentingan anak dan menantunya. Karena keinginan raja terhadap menantunya, berbagai skenario pun terwujud. “Pejabat daerah yang seharusnya netral malah disalahgunakan,” kata Hasto.
Hasto mengatakan, hal tersebut memang dirasakan oleh pasangan Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala. Itu sebabnya banyak pihak yang berupaya membantu mereka dengan bekerja sama. Tapi itu dilarang.
“Mereka dipanggil oleh pejabat negara yang mempunyai kewenangan sah. “Jangan pernah membantu Edi Rahmayadi dan Hasan Basri Sagala,” ujarnya. Berbagai tekanan tersebut memaksa keduanya berpura-pura menjadi ‘pasangan ilegal’ di pilkada, kata Hasto.
“Ini adalah konsultasi pertama kami. Apakah akan ditoleransi jika demokrasi diputarbalikkan oleh pihak berwenang?” tanya Hasto.
“Berjuang,” teriak penonton.
“Bukankah masyarakat seharusnya menentukan pilihannya sendiri, lalu mengapa ada berbagai macam intimidasi?” Apakah ini yang disebut demokrasi? Lantas kemana perginya kebebasan berekspresi masyarakat Sumut? Pengorbanan 12 pahlawan nasional Sumut tidak boleh kita sia-siakan. “Kita semua akan berjuang agar demokrasi tidak mati,” kata Hasto.
Hasto juga mengatur, menurut konstitusi, pasangan calon kepala daerah dan calon kepala daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Hasto mengatakan PDI Perjuangan dan Partai Hanura yang mengusung Edy Rahmayadi-Hasan Basri Sagala adalah partai yang sah. Tiba-tiba, beberapa “pihak lain” muncul. Sebuah partai yang bukan merupakan sebuah partai tetapi bertindak seperti sebuah partai.
“Partai yang mengatakan rakyat memakai baju coklat tiba-tiba muncul untuk melindungi menantu “Raja”, bukan rakyat. Pantaskah menantu bernama Bobby Nasution menjadi pemimpin?” kata Hasto.
Halaman berikutnya
“Kami berharap pilkada tetap menjadi agenda nasional. Namun syarat imparsialitas dan keadilan harus dijamin oleh pemerintah bersama seluruh penyelenggara pemilu. “Dan kami dukung kelanjutan demokrasi,” kata Hasto.