Senin, 18 November 2024 – 09:43 WIB
Selandia Baru, VIVA – Sidang Parlemen Selandia Baru memanas setelah anggota Te Pati Maori Hana Rawhiti Maipi Clarke menampilkan tarian tradisional Maori, Haka, sebagai bentuk protes terhadap RUU Perjanjian (RUU) kontroversial yang berupaya mengubah definisi Perjanjian. Sudah selesai. di Waitangi pada Kamis 14 November 2024.
Baca juga:
Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Selandia Baru bertemu dan sepakat untuk memperluas kerja sama kedua negara.
Pergerakan Kumpulan yang sama Maipy Clarke bahkan dikeluarkan dari ruang sidang sehingga menimbulkan ketegangan yang menyebabkan persidangan dihentikan sementara.
Seperti dikutip Associated Press pada Senin, 18 November 2024, tarian Haka dibawakan Maipy Clarke saat debat dan dihadiri sejumlah anggota parlemen oposisi.
Baca juga:
Selandia Baru menolak suap untuk membebaskan pilot Philip Mehrtens
Langkah ini merupakan respons keras terhadap rancangan undang-undang yang melemahkan hak-hak suku Maori. Akibatnya, Ketua Parlemen memutuskan untuk menghentikan perdebatan karena situasi semakin tidak terkendali.
Perjanjian Waitangi yang dibahas dalam pertemuan tersebut merupakan perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1840 antara suku Maori dan pemerintah Inggris. Perjanjian Waitangi merupakan tonggak sejarah yang berjanji untuk melindungi hak dan kepentingan tanah Maori dengan imbalan penyerahan kekuasaan kepada Inggris.
Baca juga:
Indonesia telah menyerahkan pilot Susi Philip Mark Mehrtens kepada pemerintah Selandia Baru
Namun, undang-undang baru yang diperkenalkan oleh pemimpin Partai ACT David Seymour berupaya untuk memperluas hak perjanjian bagi seluruh warga Selandia Baru.
RUU tersebut lolos pada pemungutan suara pertama, meskipun hanya sedikit anggota parlemen yang mendukungnya. Banyak yang percaya bahwa proyek ini dapat menimbulkan konflik rasial dan merusak stabilitas konstitusi. Ribuan warga Selandia Baru bahkan turun ke jalan untuk memprotes RUU tersebut, yang mengancam hak-hak suku Maori.
Perjanjian Waitangi seringkali menjadi kontroversi sejak pertama kali ditandatangani. Perbedaan interpretasi antara teks bahasa Inggris dan Maori, ditambah dengan penyalahgunaan yang dilakukan oleh pemerintah, mengakibatkan hilangnya tanah, budaya, dan bahasa masyarakat Maori.
Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah Selandia Baru telah berupaya memberikan kompensasi atas pelanggaran ini dengan menyelesaikan sengketa tanah dan melindungi bahasa Maori. Namun, Seymour berpendapat prinsip-prinsip perjanjian tersebut harus diperjelas melalui RUU baru.
Ketegangan ini menandai babak baru dalam sejarah panjang perjuangan Māori untuk melindungi hak-hak mereka dan melindungi warisan Perjanjian Waitangi. Namun, masa depan RUU ini masih menjadi tanda tanya dan perdebatan lebih lanjut diperkirakan akan memanas.
Halaman berikutnya
RUU tersebut lolos pada pemungutan suara pertama, meskipun hanya sedikit anggota parlemen yang mendukungnya. Banyak yang percaya bahwa proyek ini dapat menimbulkan konflik rasial dan merusak stabilitas konstitusi. Ribuan warga Selandia Baru bahkan turun ke jalan untuk memprotes RUU tersebut, yang mengancam hak-hak suku Maori.