Senin, 18 November 2024 – 13:38 WIB
Jakarta – Menteri Keuangan Shri Mulyani memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 (UU GES). Meski bertujuan untuk memperbaiki komposisi penerimaan negara, namun kenaikan PPN ini banyak menimbulkan perdebatan masyarakat.
Baca juga:
PPN Naik Jadi 12%, Ketua Aprindo Minta Sri Mulya Tinjau Ulang
Dalam beberapa cuitan yang viral di media sosial, warganet berpendapat bahwa masyarakat sebaiknya hidup saja dan tidak mengonsumsi. Mereka juga menyarankan masyarakat untuk menggunakan barang sampai benar-benar rusak sebelum menggantinya
Baca juga:
Begitu Donald Trump menjabat, ia akan menghilangkan subsidi pajak untuk pembelian kendaraan listrik
“Yang mau ganti hp, yang mau ganti motor baru, yang mau ganti mobil baru, tunggu dulu. Cuma 1 tahun, jangan lupa pakai semua subsidinya, jangan bangga disebut miskin, itu juga dari uang kita. “Kapan pemerintah akan memboikot dirinya lagi?” tulis akun @malengunaja pada Senin, 18 November 2024 mengutip X.
Ia juga menghimbau masyarakat untuk bijak dalam mengelola keuangannya dengan mengalihkan pengeluaran ke sektor informal seperti pasar tradisional dan pedagang kecil. “Ini masih membebani, tapi lebih kecil. Jika banyak orang melakukannya, hal itu bisa membuat mereka takut.” – dia menambahkan.
Baca juga:
Impor susu bebas pajak, jelas Kementerian Keuangan
Tak hanya itu, gaya hidup sederhana juga ditonjolkan sebagai penawar ampuh yang bermanfaat bagi kesehatan mental masyarakat.
Bagus juga kalau kita bisa mengendalikan konsumerisme kita. Besarkan anak kita jadi bijak juga kan? Protes dengan gaya hidup Zen, hemat/minimalis, hehehe“, tambahnya.
Pandangan tersebut didukung oleh beberapa pengguna lain yang menjelaskan bagaimana konsumsi masyarakat berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024 konsumsi masyarakat menyumbang 54% terhadap PDB. Ia meyakini pengurangan konsumsi dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah secara lebih strategis.
“Tingkat konsumsi masyarakatlah yang berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saya harap semakin jelas mengapa seruan hidup hemat/sederhana bukan merupakan bentuk solidaritas untuk bersama-sama memperingatkan, mengkritik atau “memprotes” kebijakan pemerintah dengan membatasi konsumsi, atau bahkan sekedar karena kebutuhan. Namun, karena alasannya sangat mendasar,imbuh warganet lain @yanuugroho.
Halaman berikutnya
“Bagus juga untuk kesehatan mental kita kan? Kalau konsumerisme kita bisa dikendalikan, baguslah. Besarkan anak kita jadi bijak juga, hehehe,” imbuhnya.