Senin, 23 Desember 2024 – 07:16 WIB
Yogyakarta, VIVA – Setiap tanggal 22 Desember masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Ibu. Aisiyyah Salmah Orbayina, Ketua Pimpinan Pusat, dalam perayaan Hari Ibu meminta masyarakat mempercepatnya untuk merefleksikan kehidupan perempuan di Indonesia.
Baca juga:
Bersamaan dengan pencegahan kekerasan, kampanye sosial “Dunia Tanpa Luka” merupakan alat yang menginspirasi.
Menurut Salma, masih banyak kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan terhadap perempuan masih belum terselesaikan.
“Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah besar, banyak kasus yang tidak dilaporkan atau terselesaikan,” kata Salmah dalam keterangannya pada 22 Desember 2024.
Baca juga:
Pemerintah Kabupaten Solsel mencatat 12 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
Salma mengungkapkan, kekerasan di ranah privat seperti KDRT lebih tinggi dibandingkan di ranah publik. Faktor budaya, kurangnya akses terhadap bantuan hukum dan kesenjangan menjadi tantangan utama dalam menyelesaikan masalah ini.
Baca juga:
Komitmen Ganjar-Mahfoud untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan
“Kita harus terus melakukan advokasi dan penegakan hukum untuk melindungi hak-hak perempuan dan menjamin keadilan bagi perempuan. “Wanita salut, wanita kuat, menuju Indonesia Emas 2045. Selamat Hari Ibu tanggal 22 Desember 2024,” pungkas Salmah.
Sebagai informasi, salah satu sayap Organisasi Wanita Muhammadiyah yakni Aisiyya terlibat dalam Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928 dengan mengirimkan dua kadernya, Siti Hajinah Mawardi dan Siti Munjiya yang merupakan wakil ketua Kongres.
Sementara itu, budayawan Muhammadiyah lainnya, Siti Sukaptinah Jong, yang berperan sebagai Sekretaris Kongres I, hadir sebagai perwakilan dari Islamiten Bond Afdeeling Wanita (JIBDA) cabang Yogyakarta. Pada usia 13 tahun, Siti Sukaptinah bergabung dengan Mahasiswa Wanita Muhammadiyah yang dipimpin oleh Nastiel Aisiyah.
“Aisiya” yang lahir pada tanggal 19 Mei 1917 sebagai organisasi pionir pembebasan perempuan muslim di seluruh dunia memberi warna cerah pada kiprah Kongres Perempuan dan Anak Perempuan yang pertama. Termasuk partisipasi dalam inisiatif pembentukan Kongres Perempuan Indonesia (KOWANI).
Pada Kongres Perempuan Indonesia Pertama, Siti Munjiyah berpesan agar perempuan Indonesia selektif dalam meniru kemajuan dunia Barat. Menurutnya, isu-isu substantif yang bersifat ilmiah dan teknis bisa diadaptasi, sedangkan isu-isu moral, gaya hidup, dan material tidak bisa ditiru karena bertentangan dengan budaya timur.
Dengan hadirnya Kongres Perempuan, Aisyiyah terpacu untuk memperkuat dan memperluas gerakan kepeloporan yang telah dilakukan sejak berdirinya, misalnya sekolah perintis (Sekolah Frobel) pada tahun 1919, sekarang TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal () TK ABA ), pendidikan literasi, pada tahun 1922 berdirinya musala wanita, inovasi peningkatan derajat perempuan, dan terbitnya majalah “Suara ‘Aisyiyah” pada tahun 1926 harus dilakukan
Halaman selanjutnya
Sementara itu, budayawan Muhammadiyah lainnya, Siti Sukaptinah Jong, yang berperan sebagai Sekretaris Kongres I, hadir sebagai perwakilan dari Islamiten Bond Afdeeling Wanita (JIBDA) cabang Yogyakarta. Pada usia 13 tahun, Siti Sukaptinah bergabung dengan Mahasiswa Wanita Muhammadiyah yang dipimpin oleh Nastiel Aisiyah.