Rabu, 20 November 2024 – 00:04 WIB
Jakarta, VIVA – Pakar ekonom Institute of Economic and Financial Development (Indef) memperingatkan Pemerintah mengenai dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 12 persen.
Baca juga:
Biaya Hidup Melonjak Usai Kenaikan PPN 12%, Ikuti 5 Cara Bertahan Hidup Ini!
Agus Herta Sumarto, Peneliti Indef, mengatakan kenaikan pajak tidak boleh menurunkan daya beli masyarakat.
“Untuk menaikkan rasio pajak Salah satu cara bagi kami adalah menaikkan tarif pajak, namun ada cara lain. Namun pemerintah harus berhati-hati jangan sampai kenaikan pajak ini justru menurunkan daya beli, kata Agus dilansir Antara.
Baca juga:
Soal kenaikan PPN 12% pada 2025, DPRK Prabowo yakin tidak akan meresahkan masyarakat
Dijelaskannya, Indonesia masih unggul dibandingkan negara-negara G20 dan beberapa negara di ASEAN. rasio pajak itu masih rendah.
Baca juga:
PPN akan meningkat sebesar 12% pada tahun 2025, sehingga meningkatkan kemungkinan pekerja kehilangan pekerjaan
Oleh karena itu, dia menyarankan agar penerapan PPN 12 persen pada tahun 2025 tidak berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat.
Menurut Agus, pemilihan produk seperti elektronik, fashion, dan otomotif merupakan langkah cerdas karena bukan merupakan produk mainstream yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat luas.
“Dengan demikian, yang akan terkena dampak langsung adalah masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki pendapatan relatif tinggi,” kata Agus.
Peneliti Indef juga memperkirakan kenaikan PPN di awal penerapan terutama akan berdampak pada jumlah permintaan.
Namun mengingat konsumennya merupakan masyarakat kelas menengah atas, lanjut Agus, maka akan terjadi penyesuaian dan adaptasi pola konsumsi agar pola konsumsi kembali normal dalam jangka menengah hingga panjang.
Sebagai informasi, Menteri Keuangan Shri Mulyani Indravati mengumumkan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 akan dilaksanakan sesuai kewenangan undang-undang (UU).
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (TAA) 2021. Saat itu, pemerintah memperhitungkan kesehatan dan kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19.
Artinya, ketika kita mengambil kebijakan terkait perpajakan, termasuk PPN, tidak dilakukan secara membabi buta dan seolah-olah hal-hal lain seperti pelayanan kesehatan bahkan sembako pada saat itu belum kita berikan persetujuan atau pertimbangan apa pun kepada sektor-sektor tersebut, kata Sri. Mulyani.
Halaman berikutnya
Peneliti Indef juga memperkirakan kenaikan PPN di awal penerapan dapat berdampak pada jumlah permohonan khususnya.