Selasa, 7 Januari 2025 – 05:38 WIB
Jakarta – Sri Zul Chairiyah, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), mengusulkan pembentukan kelompok independen untuk meminimalkan jumlah calon pasca penghapusan batasan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Baca juga:
Gerindra: Prabovo Tak Terlalu Peduli dengan Pilpres 2029
Profesor Sri Zul Chairia menjelaskan, negara bisa membentuk panel independen untuk melihat kebugaran calon presiden dan wakil presiden. Tim independen ini dapat mencakup akademisi, ekonom, dan pengacara.
Namun tidak ada perwakilan partai di dalamnya, kata Shri DI ANTARA Dari Jakarta, Senin 6 Januari 2025.
Baca juga:
Ketua MPR MK PT soal pembatalan 20 persen: Ini adalah keputusan yang mengejutkan di tahun 2025
Menurut dia, secara teknis bisa dimulai dari parpol yang mengutarakan nama calon presiden dan wakil presiden, kemudian tim independen akan memilih kesesuaiannya, baru kemudian parpol mengumumkan calonnya.
Baca juga:
Calon Ketua PPP ada 13 orang: Jenderal Sandiaga Uno, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, ia menyarankan penguatan persyaratan kelayakan, seperti usia minimal 40 tahun, maksimal 70 tahun, dan minimal ijazah magister untuk menunjukkan kualitas pendidikan dan pola pikir.
Apalagi mereka belum pernah terlibat perkara pidana maupun perdata sebelumnya, sudah menjadi anggota partai politik selama 3-5 tahun dan mempelajari cara pandang dan misi partainya.
“Bukan masuk pekerjaan atau partai karena ingin mencalonkan diri. Bisa juga sebagai bentuk penjaringan kualitas personel untuk menjadi pemimpin,” jelasnya.
Dia menjelaskan, pencalonan calon presiden dan wakil presiden diperkuat agar masyarakat bisa merasakan keadilan.
“Persyaratan bagi mereka yang ingin menjadi ASN (pegawai negeri sipil) sangat ketat, tapi bagaimana mungkin jabatan-jabatan penting seperti presiden dan wakil presiden suatu negara tidak tersaring begitu ketat dan berkualitas?” – katanya.
Pada Kamis, 2 Januari, Mahkamah Konstitusi (CJ) memutuskan untuk membatalkan ketentuan batasan presiden dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 karena bertentangan dengan Keputusan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Nomor 62 /PUU-XXII/2024 .
Menurut Mahkamah Konstitusi, batasan Presiden yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan membatalkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak mempunyai persentase perolehan suara sebenarnya atau persentase perolehan suara. kursi di republik ini. DPR akan mengusung calon presiden dan wakil presiden pada pemilu sebelumnya.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi mengetahui bahwa tren aksi politik di Indonesia adalah hanya dua pasangan calon yang berpartisipasi dalam setiap pemilihan presiden dan wakil presiden.
Menurut MK, situasi ini dengan mudah membawa masyarakat ke dalam perangkap polarisasi yang jika tidak dihindari akan mengancam keutuhan Indonesia.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Presidential ambang batas yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga kesusilaan, akal sehat, dan ketidakadilan, ujarnya. (semut)
Halaman berikutnya
Apalagi mereka belum pernah terlibat perkara pidana maupun perdata sebelumnya, sudah menjadi anggota partai politik selama 3-5 tahun dan mempelajari cara pandang dan misi partainya.