Bangunan Bersejarah Dihancurkan, Tokoh Masyarakat Melayu: Kenapa Bangunan Kami Rata Saja?

Kamis, 23 Januari 2025 – 22:17 WIB

Batam, LANGSUNG – Masyarakat Melayu masih memperjuangkan haknya di Kepulauan Riau akibat beberapa polemik. Hal ini menyebabkan pemerintah bentrok dengan masyarakat di beberapa tempat seperti Batam dan Rempang.

Baca juga:

Mantan Wali Kota Batam ini menyebut Ansar-Nyanyan sebagai sosok potensial memimpin Kepri

Sengketa yang terjadi rupanya warga Pulau Rempang meminta pemerintah mengevaluasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Permintaan tersebut karena dianggap merugikan masyarakat Melayu yang sudah ratusan tahun tinggal di sana.

Pandangan senada juga diungkapkan Megat Ruri Afriansyah, yang juga merupakan perwakilan tokoh masyarakat Melayu. Menurut dia, praktik mafia tanah juga menimpa masyarakat Melayu, salah satunya terkait pembongkaran Hotel Nongsa, Batam Purajaya yang dibongkar sejak 2023.

Baca juga:

Tun Seri HM Ali Rustam melantik Walikota Balikpapan sebagai Ketua DMDI Kaltim.

Dia mencontohkan, hotel-hotel yang memiliki sejarah akan dibongkar. “Apa kesalahan orang Melayu, mereka terpaksa membongkar hotel yang dibangun tahun 1993?” kata Ruri yang menjabat Ketua Saudagar Rumpun Melayu sejak 2017.

Baca juga:

Salah satu TPS di Natuna didekorasi dengan gaya kerajaan Melayu

Dia menyoroti peran hotel tersebut sebagai tempat berkumpulnya para pemimpin Melayu untuk membahas Provinsi Kepulauan Riau. “Gus Dur dua kali tinggal di sana hingga Provinsi Kepulauan Riau berdiri pada tahun 2002.

Selain itu, Purajaya Hotel memiliki dua divisi pengelolaan lahan (PL). Pertama, lahan yang dialokasikan terlebih dahulu seluas 10 hektare yang akan digunakan pengelola untuk pembangunan hotel. Kemudian, kata pengelola, lahan kedua seluas 20 hektar itu dijadikan bangunan tidak beraturan, gardu listrik, dan bangunan penunjang hotel lainnya.

Ruri mengatakan, pihaknya telah mengusulkan perpanjangan jangka waktu alokasi lahan untuk BP Batam. Namun BP Batam disebut menolak perpanjangan tersebut karena Hotel Purajaya sudah tidak lagi diminati pariwisata.

“Kami mengajukan sekitar 2-3 pengajuan untuk perpanjangan peruntukan tanah, kemudian ditolak karena tidak menarik,” jelas Ruri.

Ia heran Hotel Purajaya dinilai kurang menarik. “Meski hotel bintang 5 kita berdiri sejak tahun 1996, kita tahu cara menariknya, kita di bidang pariwisata harus punya landasan,” ujarnya.

Lebih lanjut ia mengingatkan, penggusuran hotel tersebut tidak hanya merugikan pemilik hotel, tapi juga ratusan pekerja Melayu. Karena banyak orang Melayu yang bergantung pada hotel ini.

“Kami mempekerjakan ratusan warga Melayu lokal di sekitar resor. Bagaimana dengan nasib mereka? Dampak sosial apa yang akan ditimbulkan terhadap kami, khususnya masyarakat Malaysia?” – katanya.

Kemudian, ia juga menambahkan, masyarakat Melayu harus mendapatkan keadilan. Menurut dia, Hotel Purajaya sudah menjadi bagian sejarah Malaysia di Kepri sehingga tidak boleh dibongkar.

“Apakah masih ada keadilan di Tanah Malaysia ini? Mengapa pemerintah pusat tidak melihat kami? Mengapa bangunan kami rata saja?” kata Ruri.

Halaman berikutnya

“Kami mengajukan sekitar 2-3 pengajuan untuk perpanjangan peruntukan tanah, kemudian ditolak karena tidak menarik,” jelas Ruri.

Legenda legendaris tentang seri Tahun Baru Imlek 6



Sumber