Pemerintah batalkan kenaikan pajak rokok 2025, Indef beberkan 3 alasannya

Senin, 30 September 2024 – 21:47 WIB

Jakarta, VIVA – Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada tahun 2025 mendapat apresiasi tinggi dari sejumlah pihak karena dianggap bisa memberikan angin segar bagi industri tembakau.

Baca juga:

Pemerintahan Prabowo-Gibran meningkatkan aliran nikel untuk meningkatkan perekonomian sebesar 8%

Kebijakan ini juga disetujui oleh kalangan industri yang saat ini sedang menghadapi berbagai kesulitan yang serius. Termasuk terbitnya Peraturan Pemerintah (GPR) Nomor 28 Tahun 2024 dan rencana pengaturan kemasan rokok polos dan tidak bermerek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Menteri Kesehatan).

Baca juga:

Anindya Bakri optimis kerja sama Kadin dan BUMN akan mendongkrak perekonomian Indonesia

Ekonom Senior Institute of Economic Development and Finance (Indef), Tawheed Ahmed mengungkapkan pasal PP 28/2024 dan rancangan Menteri Kesehatan tentang kemasan polos tanpa label menimbulkan ancaman serius bagi perekonomian.

Kajian Indef mengidentifikasi tiga skenario dampak ekonomi yang patut dipertimbangkan, kata Tawhid dalam keterangannya, Senin, 30 September 2024.

Baca juga:

Pemerintah sedang mengembangkan Strategi Pembangunan Berkelanjutan bekerja sama dengan Korea Selatan dan Belanda

Pada skenario pertama, peraturan kemasan polos dan tidak bermerek disebut-sebut akan mendorong penurunan perdagangan bahkan peralihan dari rokok legal ke ilegal. Hal ini dapat menurunkan permintaan produk legal sebesar 42,09 persen.

Pengurangan ini dapat menimbulkan potensi kerugian ekonomi sebesar Rp182,2 triliun dan berkurangnya penerimaan pajak sebesar Rp95,6 triliun, ujarnya.

Skenario kedua adalah pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari sektor pendidikan dan taman bermain anak yang diperkirakan akan menurunkan penjualan eceran rokok sebesar 33,08 persen. Potensi dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp84 triliun dan penerimaan pajak yang terkena dampak sebesar Rp43,5 triliun.

Sementara itu, skenario ketiga pembatasan iklan tembakau di luar ruangan, serta di televisi dan media online, dapat menurunkan permintaan jasa periklanan hingga 15 persen, dengan kerugian ekonomi sebesar Rp41,8 triliun dan penerimaan pajak hingga Rp21,5 triliun.

Gambar seorang pekerja pabrik rokok.

Gambar seorang pekerja pabrik rokok.

Foto:

  • Dokumen Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.

Melihat berbagai skenario tersebut, Tauheed menekankan pentingnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem industri hasil tembakau. Baik kementerian, lembaga, maupun badan usaha, mengingat kompleksnya ekosistem industri tembakau di Indonesia.

“Indef merekomendasikan kepada pemerintah untuk merevisi PP 28/2024 dan membatalkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, terutama pasal-pasal yang mempengaruhi pendapatan negara dan perekonomian,” ujarnya.

Halaman berikutnya

Skenario kedua adalah pelarangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari sektor pendidikan dan taman bermain anak yang diperkirakan akan menurunkan penjualan eceran rokok sebesar 33,08 persen. Potensi dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp84 triliun dan penerimaan pajak yang terkena dampak sebesar Rp43,5 triliun.

Halaman berikutnya



Sumber