Peraturan kemasan rokok yang sederhana tidak memperhitungkan dampak di masa depan

Selasa, 1 Oktober 2024 – 23:06 WIB

Jakarta, VIVA – Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang mengatur tentang kemasan rokok polos tanpa label dinilai kurang tepat. Rencana penerapan peraturan tersebut juga berpotensi merugikan industri dan masyarakat.

Baca juga:

Bea Cukai menindak jutaan rokok ilegal di Kendari

Praktisi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Hari Prasetio mengatakan, mengingat kondisi sektor tembakau yang mencakup banyak hal mulai dari hulu hingga hilir, maka penggunaan model omnibus untuk mengadopsi peraturan turunan adalah sebuah hal yang tepat. dianggap tidak pantas.

Oleh karena itu, pendalaman materi terbatas dan kurang mempertimbangkan pengaruh-pengaruh ke depan yang dapat mengganggu transisi pemerintahan Prabowo-Gibran, kata Hari dalam keterangannya, Selasa, 1 Oktober 2024.

Baca juga:

Nasib 10 juta pedagang berada di ujung tanduk, Aparsi menolak aturan baru mengenai tembakau

Jika dilihat dari sisi hukum, Hari menekankan agar Kementerian Kesehatan memfokuskan kebijakan pada sektornya terlebih dahulu sebelum mengatur barang lainnya. Selain itu, pada sektor-sektor di luar bidang kesehatan yang mempunyai dampak ekonomi massal dan sistemik dengan adanya peraturan Kementerian Kesehatan.

“Bahkan dari peraturan yang baru dikeluarkan, pengaturan zat adiktif terlalu memberikan tekanan pada tembakau dan tidak sejalan dengan undang-undang kesehatan yang telah disahkan sebelumnya,” ujarnya.

Baca juga:

Asosiasi Petani Tembakau menyerukan peninjauan kembali aturan pengemasan polos

Hari juga mencatat dalam rancangan Menteri Kesehatan tersebut muncul peraturan mengenai kemasan rokok polos dan tanpa label yang dinilainya merupakan peraturan wajib dan tidak sesuai dengan UU Kesehatan dan PP 28/2024.

Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa ketentuan kebijakan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Faktanya, pemerintah Indonesia belum meratifikasi FCTC. Maka, Hari mengingatkan Kementerian Kesehatan untuk tidak memaksakan aturan tersebut karena Indonesia memiliki ekosistem tembakau yang kompleks.

“Peraturan ini bisa mengancam sektor tembakau di Indonesia sebagai produsen tembakau terbesar. Kalau tembakau mau diatur, pemerintah harus duduk bersama para pelaku usaha dan menanyakan apa yang ingin mereka atur. Sepakati dulu,” kata Hari. .

“Kalau dilakukan terburu-buru agar bisa sampai tepat waktu, jelas Kemenkes berniat melaksanakan Proyek Peraturan Menterinya. Harus sesuai dengan pernyataan Presiden, agar kebijakan itu tidak berdampak negatif. pada masyarakat,” – katanya.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey mengatakan, sektor tembakau sebagai sektor hilir memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan perdagangan ritel terhadap PDB.

Sehingga, dampak hilangnya pendapatan bagi badan usaha dengan adanya PP 28/2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan harus dikurangi secara hati-hati oleh pemerintah. Roy menyayangkan badan usaha sebagai pelaksana peraturan pemerintah tidak diajak berkonsultasi dan sering mendapat misinformasi akibat pengambilan keputusan yang tidak transparan.

“Peran Kementerian Kesehatan tidak boleh saling eksklusif. Ada pasal-pasal yang samar-samar dan tidak berlaku, jadi pasal-pasal tersebut hanya untuk pamer saja? Sementara itu, ada “kedamaian” di lapangan dengan orang-orang yang tidak jujur. Ini antara input, proses dan keluar“Itu tidak benar,” katanya.

Halaman berikutnya

“Peraturan ini bisa mengancam sektor tembakau di Indonesia sebagai produsen tembakau terbesar. Kalau tembakau mau diatur, pemerintah harus duduk bersama para pelaku usaha dan menanyakan apa yang ingin mereka atur. Sepakati dulu,” kata Hari. .



Sumber